Ini Penyebab Konflik Pasir Besi Berujung Tewasnya Aktivis

Tambang pasir di Lumajang
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dyah Ayu Pitaloka (Malang)

VIVA.co.id - Konflik antara petani dan penambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang, berlangsung sejak dua tahun terakhir.

Kisah Tangisan Anak TK Iringi Penyiksaan Salim Kancil

Kemarahan warga yang mengendap, kemudian meledak setelah praktik tambang pasir ilegal banyak menenggelamkan sawah warga.

Aksi damai warga untuk menuntut penutupan tambang, justru berakhir tragis dengan hilangnya nyawa seorang warga, sekaligus aktivis penolak tambang pasir ilegal, Salim alias Kancil pada Sabtu 26 September 2015. Satu warga lain, yaitu Tosan kini sedang dirawat di Rumah Sakit dr Saiful Anwar Malang akibat pengeroyokan di hari yang sama.

Kades Pembunuh Salim Kancil Rutin Suap Muspika
“Konflik ini terjadi sejak dua tahun terakhir,” kata Mulyadi, kerabat Salim di kediaman Salim, Desa Selok Awar-awar, Selasa 29 September 2015.

Tosan Rekan Salim Kancil Kebal Ditebas Aneka Senjata Tajam
Tahun 2014, Kepala Desa Selok Awar-awar mengumumkan proyek pantai wisata di Pesisir Watu Pecak. Warga yang antusias ikut mendukung proyek tersebut. Namun, satu tahun berlalu proyek wisata tak pernah nyata. Faktanya, praktik tambang pasir ilegal marak di pesisir pantai dengan pasir berwarna hitam itu. 

Warga pun merasa ditipu oleh Kades mereka. “Itu hanya kedok Kades untuk mengelola dan menambang pasir itu. Akibatnya, garis pantai semakin habis dan air laut semakin naik dan menenggelamkan sawah,” lanjut Mulyadi yang mengaku masih berkerabat dengan Kades Awar-awar, Haryono.

Warga yang mencium aroma tak sedap semakin banyak mempertanyakan kejanggalan dalam tambang pasir itu, di antaranya pemasukan hasil penjualan pasir yang tak pernah diketahui warga. Selain itu, sawah yang rusak juga tak mendapat ganti rugi dari pengelola tambang pasir. 

Sementara itu, dampak galian pasir yang mengikis garis pantai dampaknya semakin nyata terasa. Sekitar 30 warga di RT 01 RW 01, perkampungan terdekat dengan pantai, merasa terancam dan was-was jika sewaktu-waktu air laut yang semakin mendekati perkampungan akan menerjang habis rumah mereka.

Sedangkan sebanyak 40 warga pemilik sawah di tepi pantai juga was-was. Garis pantai yang semakin menjorok ke darat membuat sawah mereka sebagian besar terendam air laut.

Sementara, sawah itu dibuat dengan menguruk rawa-rawa setinggi dada orang dewasa, dengan pasir. Mereka turun temurun bersawah di atas tanah milik Perhutani, di tepi pantai sejak tahun 1980 an. “Sawah itu, awalnya rawa yang kami urug dengan pasir. Salim ini sangat tekun mengurug sawah, menanaminya dengan padi untuk makan keluarga,” kata Mulyadi.

Namun, setelah aktivitas tambang pasir berlangsung, sawah padi sering gagal panen. Air bah dari laut sering menggenangi sawah, dan ketika air surut lahan sawah sering digunakan sebagai tempat parkir alat berat tanpa membayar ganti rugi pada pemilik sawah.

Maka pada Januari 2015, dibentuklah Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian. Ada 12 warga yang menjadi anggotanya, yaitu Tosan, Iksan Sumar, Ansori, Sapari, Salim alias Kancil, Abdul Hamid, Turiman, M. Hariyadi, Rosyid, Mohammad Imam, Ridwan, dan Cokro Widodo. Mereka bertugas melakukan advokasi memprotes penambangan pasir yang menyebabkan kerusakan lingkungan.



Langkah awal, mereka berkirim surat pada Camat hingga Bupati Lumajang. Pada Juni 2015, mereka kembali berkirim surat untuk meminta audiensi dengan Bupati Lumajang tentang penolakan warga terhadap praktek Tambang Pasir. “Acaranya itu tanggal 29 Juni, tetapi dua hari sebelumnya saya ditelepon Bakesbangpol, katanya kami diminta melaporkan ini pada camat saja. Audiensi dengan Bupati batal,” tambah Abdul Hamid. Di depan camat, warga menyatakan keberatan tentang praktik tambang ilegal, serta izin yang berkedok pariwisata. 

Setelah audiensi kegiatan tambang masih terus berjalan. Pada 9 September, warga kembali melakukan aksi damai dengan truk bermuatan pasir di Balaidesa setempat. Saat itu, forum menyuarakan sejumlah tuntutan, antara lain menuntut penambang memindahkan semua alat berat di pantai, hentikan kegiatan penambangan, meminta transparansi uang hasil penambangan serta transparansi pungutan di portal pantai. “Setelah aksi itu, Kades membuat surat pernyataan, isinya sepakat menghentikan kegiatan pertambangan,” kata Hamid.

Namun, selang satu hari, ancaman diterima sejumlah anggota forum. Keluarga Tosan mengaku ada sekitar 20 orang bersenjata celurit dan membawa peledak jenis bondet mengancam membunuh Tosan dan istrinya, Ati Haryati jika tidak berhenti melakukan aksi menolak pasir tambang.

Hal serupa juga dialami keluarga Salim. Saat itu, Salim bahkan sempat dipukul sekali oleh gerombolan pelaku yang dipercaya warga dibayar oleh pengelola tambang. “Siapa pengelola tambang, ya pak Kades. Kan, yang punya ide wisata dulu, ya pak Kades,” tuduh Hamid. 

Forum pun melaporkan hal itu pada Polsek setempat hingga Polres Lumajang pada 11 September. Laporan diterima langsung oleh Kasat Reskrim Polres Lumajang dan berjanji akan ditindak lanjuti. Pada 19 September 2015, Forum menerima surat pemberitahuan dari Polres Lumajang terkait nama–nama Penyidik Polres yang menangani Kasus tersebut.

Namun, upaya forum tak berhenti. Pada 21 September, Forum berkirim surat pengaduan terkait penambangan ilegal yang dilakukan oleh Oknum Aparat Desa Selok Awar–awar di daerah hutan lindung Perhutani.

Pada 25 September 2015, Forum mengadakan koordinasi dan konsolidasi dengan masyarakat untuk melakukan Aksi Penolakan Tambang Pasir. Aksi dilakukan menyusul beroperasinya kembali tambang. “Kades menyalahi surat pernyataannya dan tambang kembali hidup. Kami berencana melakukan aksi damai pada Sabtu 26 September pukul 09:00,” ujarnya. 

Namun, pada 26 September pagi, pukul 07.30 terjadi penculikan, pengeroyokan dan penganiayaan pada dua anggota forum, yaitu Tosan dan Salim alias kancil. Kedua petani, sekaligus aktivis itu disiksa dengan brutal hingga Salim tewas dan jasadnya dibuang ditengah hutan jati dekat pemakaman setempat.

Sementara itu, Tosan yang berhasil mengelabui pelaku pengeroyokan dengan pura-pura mati. Kini, sedang dalam kondisi kritis dirawat di rumah sakit dr. Saiful Anwar Malang. “Pelaku pengeroyokan itu, ya centengnya Kades, mereka dibayar Rp3 Juta setiap bulan,” katanya.

Meskipun warga tak habis pikir, mengapa pengelola tambang sampai hati menghabisi nyawa Salim. “Di sini sebenarnya, semua masih saudara. Kades dengan Salim juga masih satu buyut. Sekarang, kami hanya ingin pelaku dihukum setimpal,” tuturnya. 

Sementara itu, polisi telah menetapkan 22 tersangka dalam kasus tersebut. Sedangkan posisi Kades Selok Awar-awar masih berstatus saksi dan menjalani pemeriksaan. “Kades masih berstatus saksi, kami punya waktu 1x24 jam untuk memeriksanya,” kata Kapolres Lumajang AKBP Fadly Munzir Ismail.  (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya