'Hantu' Palu dan Arit di Indonesia

Ilustrasi pembakaran lambang Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Agus Bebeng

VIVA.co.id - Sepekan lagi, tragedi berdarah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia genap berusia setengah abad. Partai terlarang yang dikenal dengan simbol palu dan aritnya ini menjadi hantu menakutkan bagi siapa pun di Indonesia.

Setengah abad simbol itu menjadi hal yang mengerikan. Siapa pun yang bersentuhan dengan simbol 'hantu' ini, bersiap saja akan digugat atau pun dihukum.

Anindya Kusuma Putri, Puteri Indonesia 2015, pada Februari silam pernah dilaporkan polisi oleh Front Pembela Islam di Solo Jawa Tengah terkait fotonya saat mengenakan baju kaos bergambar palu dan arit.

Kasus Tragedi 1965 Harus Diselesaikan

Anindya dianggap meresahkan dan langsung dituduhkan dengan pelanggaran terhadap TAP MPRS Nomor 25/1996 tentang komunisme. "Kami mendesak pelaku ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Walaupun itu diunggah di Vietnam, tapi diunggah melalui media sosial ke Indonesia," kata Koordinator FPI Solo Raya Khoirul RS kala itu.

Di Yogyakarta. Puluhan orang tak dikenal bahkan membubarkan paksa sebuah aktivtas mahasiswa, lantaran hendak menonton bareng film Senyap. Yakni sebuah film yang dianggap berseberangan dengan sejarah Indonesia tentang kengerian terhadap PKI.

"PKI itu musuh negara. PKI dilarang oleh negara. Kalian tahu, tidak," teriak massa.

Mendiang Adik Pramoedya Ternyata Sudah Siapkan Album Lagu

Menguak Sejarah

, berdasarkan sejumlah pranala diketahui lahir pada tahun 1917. Saat Lenin, pemimpin Soviet mengadakan hajatan berupa lomba lambang Soviet.

Kala itu, gambar berbentuk palu dan aritlah yang kemudian menang. Namun saat itu, simbol parit yang asli, dilengkapi dengan sebilah pedang.

Sehingga ada tiga simbol, yakni, Palu, Arit dan Pedang. Namun karena Lenin hendak menyimbolkan negaranya adalah negara yang damai dan jauh dari kekerasan, maka akhirnya gambar pedang pun dihapuskan. Jadilah hingga kini, gambar palu dan arit pun menjadi sebuah simbol.

Di Indonesia, seperti ditulis Soe Tjen Marching seperti dikutip dalam situs 1965tribunal.org, yang kini memfasilitasi perjuangan terhadap korban kekerasan negara terhadap anggota PKI.

Sesungguhnya ditujukan untuk berjuang melawan penjajahan Belanda. Jadi tidak ada kaitannya dengan menetang agama.

Buktinya ada beberapa pendiri PKI adalah anggota dari Organisasi Sarekat Islam, seperti Haji M Misbach (1876-1926).

Namun demikian, sejarah berkelok. divonis menjadi simbol dari sebuah kejahatan tak terampunkan. Negara pun memberangus segenap anggota PKI pada tahun 1965 hingga 1967.

Simbol-simbol hantu pun dijejali ke generasi sebagai simbol kejahatan, pembunuhan, kekejaman atau pun pemberontakan. Apa pun dalih, menyentuh atau pun menggunakan simbol 'hantu' akhirnya harus dihukum.

"Ketakutan akan hantu PKI di negeri ini jauh lebih besar daripada ketakutan akan masalah yang sudah jelas di depan mata. Kejahatan dan korupsi yang terjadi setiap hari tidak diindahkan, mereka yang telah melakukan pembunuhan massal di berbagai tempat, masih dibiarkan dan bebas berkeliaran – sementara banyak orang begitu sibuk mencari hantu," tulis Soe Tjen.

Mengapa Tragedi 1965 Diburamkan?
Tiada Maaf

Baru-baru ini, meski secara tersirat. Pemerintah Indonesia mewacanakan akan merekonsiliasi seluruh pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya .

Namun entah mengapa, isu pun bergeser menjadi negara akan memaafkan para pelaku PKI. Bahkan disebut-sebut, Presiden Joko Widodo akan menyampaikan permohonan maafnya kepada korban tragedi 1965 atau para anggota PKI.

Tepat kemarin, Selasa 22 September 2015. Presiden Joko Widodo pun mengklarifikasi kabar tersebut. Jokowi membantah akan memberi maafnya kepada para anggota PKI.

Lewat pernyataan yang disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti, Jokowi, menegaskan tiada maaf bagi

"Sama sekali tak ada agenda bahkan terpikir pun tidak, sehingga isu yang berkembang bahwa pemerintah akan meminta maaf (Ke PKI), sudah diklarifikasi," ujar Mu'ti di Istana Negara Jakarta.

Terlepas dari itu. Simbol-simbol hantu yang kini menjejal di publik Indonesia layak diklarifikasi dan dijelaskan apa sesungguhnya simbol itu hingga begitu menakutkan.

Negara punya kewajiban akan hal itu. Jangan sampai simbol 'hantu' menjadi legitimasi negara atas sebuah kebenaran yang tak terungkap.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya