Profesi Ini Banyak Berujung Jadi Koruptor

Ilustrasi-Kampanye pemberantasan korupsi.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengindentifikasi sejumlah profesi yang kerap berujung menjadi perilaku tindak pidana korupsi, atau koruptor.

Tips agar Target Pekerjaan Sesuai 'Deadline'

Hasil ini didapat dari data akumulatif kejahatan korupsi yang berakhir di pengadilan sepanjang Januari hingga Juni 2015.

Pertama, yakni orang yang berprofesi sebagai pejabat, atau pegawai kementerian, atau di pemerintah daerah.

"Jumlahnya mencapai 212 orang dari Januari hingga Juni 2015," ujar Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah, Senin 14 September 2015.

Menjadi Koruptor, Profesi Idaman?

Baca Juga:

Posisi kedua, yakni orang yang berprofesi di sektor swasta, mulai dari direktur, komisaris, konsultan, dan pegawai swasta.

"Jumlahnya 97 tersangka. Setelah itu, secara berurutan dari yang berlatar belakang kepala daerah sebanyak 27 orang, kepala dinas sebanyak 26 orang, dan anggota DPR/DPRD/DPD sebanyak 24 orang," kata Wana.

Kemudian, diikuti oleh tersangka korupsi dari latar belakang pejabat, atau pegawai lembaga negara lain sebanyak  12 orang. Disusul direktur, pejabat, dan pegawai BUMN, atau BUMD sebanyak 10 orang. Lalu, dari kelompok masyarakat sebanyak 10 orang.

Menko Darmin: Pekerja Indonesia Harus Tersertifikasi

Baca Juga:

“Dan posisi yang paling bawah adalah pejabat, atau pegawai bank sebanyak 10 orang,” ungkap Wana.

Bagaimana Modusnya?

Identifikasi yang dilakukan ICW ini juga melengkapi bagaimana modus operandi yang dilakukan oleh para koruptor tersebut. “Pada semester I-2015, ada 11 modus yang dilakukan tersangka korupsi. Yang paling banyak dilakukan adalah penggelapan,” ujar Wana.

Penggelapan masih menjadi modus yang sering digunakan tersangka korupsi, yakni dengan 82 kasus, dengan total kerugian negara sebesar Rp227,3 miliar.

Lalu, di posisi kedua, terdapat modus penyalahgunaan anggaran sebanyak 64 kasus. Diikuti, dengan modus penyalahgunaan wewenang sebanyak 60 kasus, mark up, atau penggelembungan harga 58 kasus, laporan fiktif 12 kasus, suap, atau gratifikasi 11 kasus, kegiatan fiktif sembilan kasus, pemotongan enam kasus, mark down tiga kasus, pemerasan sebanyak dua kasus.

"Dan, yang terakhir, adalah pungutan liar sebanyak satu kasus," katanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya