Menteri Kehutanan Usul Revisi UU buat Cegah Pembakaran Hutan

Pemadaman Kebakaran Hutan di Jambi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro
VIVA.co.id - Pembakaran lahan oleh masyarakat masih diizinkan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal itu ditengarai menjadi salah satu penyebab kejadian kebakaran hutan dan lahan yang selalu berulang selama 18 tahun terakhir.
Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengusulkan merevisi UU itu. "UU itu perlu direvisi sebagai bagian dari upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan," katanya di Jakarta pada Minggu, 13 September 2015.
Satelit Lapan Deteksi 232 Hotspot Jelang Puncak Kemarau

Dibebaskannya masyarakat membakar lahan diatur pada penjelasan Pasal 69 Ayat 2 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembakaran lahan dibolehkan dengan luas maksimal dua hektare. Kenyataannya pembakaran kerap tak terkontrol, sementara kewajiban membuat sekat bakar tak dilakukan yang membuat api merembet ke mana-mana.
Jelang Puncak Kemarau,Titik Api di Sumatera Meningkat

Menurut Menteri, alternatif membakar untuk membuka lahan dikarenakan cara itu sangat murah dan terjangkau masyarakat. Jika menggunakan peralatan mekanis, dana yang dibutuhkan untuk membuka lahan bisa mencpai Rp5 juta per hektare. “Kalau dibakar paling hanya ratusan ribu rupiah untuk lahan berhektare-hektare,” ujarnya.

Sebagai solusi, pemerintah menyiapkan skema-skema insentif bagi masyarakat yang tidak membakar lahan. Skema itu, misalnya menyediakan pembiayaan tanpa bunga atau membantu pembukaan lahan secara mekanis. “Insentifnya seperti apa, nanti akan didetailkan,” katanya.

Menteri juga mengungkapkan berdasarkan analisis citra satelit dan pantauan lapangan, kebakaran yang terjadi lebih banyak di wilayah perkebunan. Meski demikian, dia menegaskan semua pemegang konsesi pengelolaan lahan wajib menjaga arealnya dari kebakaran.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Irysal Yasman, menyambut positif rencana revisi UU Nomor 32 tahun 2009. Dia juga menyarankan agar ketentuan hukum di bawahnya, seperti perda, yang masih membolehkan masyarakat untuk membuka lahan dengan cara dibakar ikut direvisi.

“Adanya ketentuan yang membolehkan masyarakat membakar kontraproduktif dengan upaya pencegahan kebakaran,” katanya kepada VIVA.co.id.

Irysal juga berharap pemerintah bisa meningkatkan kepastian lahan dan mendorong penyelesaian lahan-lahan sengketa. Sengketa lahan itu antar-perusahaan, warga dengan perusahaan, atau pun warga dengan warga.

Pasalnya, lahan sengketa menjadi wilayah yang kerap menjadi awal munculnya api yang berimbas pada  kebakaran di areal hutan tanaman industri yang dikelola perusahaan. “Biasanya lahan yang disengketakan ini sengaja dibakar oleh oknum,” ujarnya.

Irysal menyatakan, anggotanya selalu mengalami kerugian setiap kali ada kebakaran yang terjadi di wilayah kerjanya. Sebab harus kehilangan aset tanaman dan harus mengeluarkan biaya penanaman ulang. “Sudah rugi, kami juga masih harus menghadapi tuduhan negatif,” katanya.

Dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, kata Irsyal, anggota APHI di daerah telah mengupayakan berbagai langkah. "Saat ini anggota APHI telah meluncurkan beberapa program penting. Di antaranya Program Desa Bebas Api, Masyarakat Peduli Api (MPA), bantuan teknologi dan peralatan mekanis kepada masyarakat untuk mengolah lahan tanpa bakar, dukungan sarana prasarana serta pemeriksaan kesehatan,” ujarnya.

Hal yang terpenting adalah kolaborasi berbagai pihak, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan, masyarakat, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Karena masalah ini tidak akan mungkin ditangani sendiri-sendiri.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya