Legenda Manusia yang Berubah Jadi Naga

Telaga Sarangan
Sumber :
  • VIVA.co.id / Dody Handoko

VIVA.co.id - Di balik keindahan suatu tempat, sering terdapat mitos yang berkembang di tengah masyarakat. Tak sedikit dari warga yang percaya dan menghormatinya dengan menggelar ritual khusus semacam larung atau grebeg.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Seperti pada lokasi wisata Telaga Pasir, Sarangan, Magetan. Konon terbentuknya telaga ini lantaran sepasang suami istri yang berubah menjadi naga.

Cukup mudah untuk menuju lokasi telaga yang lebih dikenal dengan sebutan telaga sarangan ketimbang telaga pasir ini. Terletak sekitar 15 km dari Kota Magetan, tepatnya di bawah kaki Gunung Lawu. Sepanjang perjalanan menuju telaga ini, pengunjung akan disuguhi pemandangan kebun sayur.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Loket masuk relatif terjangkau hanya dengan merogoh kocek Rp7.500, pengunjung bisa menikmati pesona danau yang memiliki luas 30 hektar dengan kedalaman 28 meter ini. Kabut di atas telaga dan bukit yang mengelilinginya membuat terlihat lebih indah.

Di telaga ini banyak sekali terlihat ikan nila yang menjadi sasaran para pemancing yang berkunjung. Namun menurut masyarakat setempat, konon, dahulu kala sebelum ada telaga, daratan di sana masih berupa hutan subur.

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Joko, warga sekitar telaga sarangan menceritakan sebuah legenda berupa dongeng Ki Pasir. Di zaman Kerajaan Pengging, hidup seorang pujangga kenamaan, Ki Pasir namanya. Ketika pecah perang antara Pengging dan Mataram, keduanya di Jawa Tengah, Ki Pasir dan isterinya, Nyi Pasir, keluar dari Pengging karena tidak ingin terkena ekses peperangan.
 
Kemudian keduanya menuju ke Jowo Wetan (Jawa Timur). Begitu perjalanan sampai di daerah Surakarta, di tepi bengawan solo, mereka bertemu dengan bocah laki-laki berumur sekitar 10 tahun. Bocah yang tak punya tempat tinggal dan orangtua itu diambil sebagai anak angkat Ki dan Nyi Pasir. Bocah itu kemudian diberi nama Joko Lilung.

Mereka bertiga kemudian meneruskan perjalanan dan sampai di hutan Gunung Lawu. Ki Pasir memilih sebuah tempat di lereng gunung sebelah timur, untuk mendirikan pondok sebagai tempat berlindung.

Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa aman dari marabahaya. Namun, Joko Lilung sendiri tak pernah ikut berada di rumah. Sejak kecil, Joko Lilung dikenal sebagai anak yang suka berkelana dan bersemedi. Hanya sesekali dia mampir ke rumah, dan kemudian pergi lagi entah ke mana.

Hari-hari Ki Pasir banyak digunakan untuk membuka lahan dan bercocok tanam di sekitar pondoknya di lereng  Gunung Lawu. Hingga suatu hari, kejadian aneh menimpanya. Saat hendak berladang, dia menemukan dua buah telur. Tak tahu entah telur binatang apa. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekor pun yang biasa bertelur.
 
Ki Pasir pun mengambil dan merebusnya sebuah, dan satunya lagi ditimbun dengan tanah. Telur rebus itu kemudian dibelah jadi dua. Sebuah di makan Ki Pasir, dan yang satu lagi disimpan untuk nantinya diberikan kepada Nyi Pasir bila datang mengirim makanan.
 
Anehnya, sehabis memakan telur itu, Ki Pasir merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Tubuhnya merasa panas dan merasa gatal tidak karuan. Ki Pasir pun mencari tempat di sebuah sumber, di bagian barat telaga yang sekarang. Di situ, Ki Pasir berendam untuk menghilangkan rasa panas dan gatal yang dideritanya. Namun, lama ia tak kunjung beranjak dari situ.
 
Nyi Pasir yang bendak mengirim makanan untuknya, tak menemukannya di ladang. Hingga diketahui kalau suaminya berendam di sumber itu. Nyi Pasir memanggilnya untuk segera makan, tapi Ki Pasir tetap tak bergeming. Malah isterinya disuruh makan dulu dengan lauk separuh telur yang direbusnya tadi. Nyi Pasir pun makan lebih dulu.
 
“Namun, kejadian aneh juga menimpanya sebagaimana menimpa suaminya. Tubuhnya merasa panas dan gatal tak keruan. Ia pun ikut berendam di sumber di samping Ki Pasir,” ujar Joko.

Lama-kelamaan derita kedua suami-isteri itu tak kunjung sembuh, bahkan malah makin menjadi. Sesaat mereka saling pandang, dan betapa kagetnya mereka berdua. Ternyata wajah keduanya tak lagi berujud manusia, tapi seekor naga. Keduanya marah dan mengeliat-geliat, menyibak-nyibakkan tubuhnya ke sana-kemari. Gunung pun hendak digempur, pohon-pohon dirobohkan.

Tiba-tiba Ki Pasir mendengar suara yang memerintahkannya untuk segera bertaubat. Sejenak kemudian keduanya menghantarkan doa agar diberi maaf Yang Maha Kuasa. Namun, tak urung, sekitar sumber yang menjadi arena pelampiasan kemarahan berubah menjadi kubangan besar, menjadi telaga.
 
Cerita pun bergulir, dan disitulah keduanya mukso, meninggal tanpa ada jasad, menghadap Yang Maha Kuasa tanpa meninggalkan bekas. Joko Lilung pun kehilangan jejak kedua orangtua angkatnya. Dicari di rumah, di ladang, di mana-mana tapi tak menemukan keduanya.
 
Hingga suatu ketika, saat dia bersemedi di tepi telaga, dia mendapat wangsit. Setelah mendapat wangsit itu, Joko Lilung menjadi jelas bahwa orang tuanya telah mengalami kejadian aneh dan sekarang sudah tidak bisa menemuinya lagi. Bahkan, Ki Pasir dalam wangsitnya memberi pesan, agar telaga itu diberi nama Telaga Pasir.
 
Pesan berikutnya memberi tugas kepadanya agar pada setiap malam Jumat Pon, bulan Ruwah menghadiahkan sesaji di Telaga Pasir. Pesan ketiga, Joko Lilung disuruh mencari telur yang ditimbunnya di ladang pada waktu lalu. Ki Pasir ingin tahu, telur binatang apa sebenarnya, sehingga membuat keduanya berubah menjadi naga.
 
Joko Lilung segera mencari telur yang dimaksud Ki Pasir. Namun, betapa kagetnya, telur yang disimpan Ki Pasir itu pecah dan muncul seekor ular. Ular itu kemudian makin membesar tubuhnya menjadi seekor naga. Oleh Joko Lilung si naga yang bisa berbicara itu dijadikan saudara. Naga itu lalu berpindah tempat di Telaga Ngebel, Ponorogo.
 
Sementara Joko Lilung yang kemudian dijuluki Ki Jalilung, mukso di Telaga Pasir, setelah pesan-pesan Ki Pasir sudah disebarkan kepada orang-orang yang satu-persatu mulai mendiami kawasan Sarangan.
 
“Hingga saat ini pada hari Jumat pon bulan ruwah di telaga ini diadakan upacara larung sejaji atau larung tumpeng. Upacara dilakukan sebagi bentuk syukur kepada sang pencipta atas berkah yang diberikan pada telaga sarangan dan sekitarnya,” kata Joko

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya