Kisah Tragis Ratu Madura, Tak Henti Menangis Sampai Wafat

Pemakaman Aer Mata
Sumber :
VIVA.co.id
Polisi Blak-Blakan Ungkap Kondisi Mengerikan Bus Maut di Subang sebelum Kecelakaan
- Di Pulau Madura cukup banyak ditemukan peninggalan sejarah pada masa masuknya peradaban Islam. Salah satunya ialah keberadaan Situs Aer Mata di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan.

Menguatkan Nilai Luhur Pancasila di Lingkungan Kampus
 
Arief Ngotot Maju di Pilgub Banten 2024, Menunggu Restu Kaesang
Komplek situs sejarah yang terletak di sisi utara, sekitar 30 kilometer dari arah Kota Bangkalan ini, menyimpan banyak fakta dan cerita sejarah, termasuk peninggalan berupa makam Islam kuno, yang disertai dengan arsitektur budaya Hindu-Budha.
 
Konon menurut legendanya, konstruksi bangunan situs itu didirikan pada abad ke-15 atau ke-16. Walau sudah uzur, tapi bentuk bangunan tersusun rapi meski dibangun tanpa alat perekat dari semen.

Mulai dari nisan, kerangka kuburannya, semuanya terukir indah yang terbuat dari batu putih mirip pualam yang diambil dari lokasi sekitar makam.
 

Keindahan yang menonjol dan bernilai seni tinggi tersebut terletak pada tiga cungkup utama makam yang berukuran 40 x 20 meter, yakni makam Ratu Ibu Syarifah Ambami, Panembahan Tjakraningrat II dan Tjakraningrat III. Begitu juga cungkup pada makam Panembahan Tjakraningrat V, VI dan VII yang disebut-sebut bergelar Tjakradiningrat I.

 

Maka wajar apabila kelangkaan dan keindahan nilai seni dan arsitektur pada Makam Aer Mata menjadi perhatian Pemerintah.  Di tahun 1975 kompleks Pasarean Aer Mata diikut sertakan dalam lomba dan pameran seni arsitektur peninggalan Purbakala se-Asia mewakili Indonesia. Hasilnya, situs itu mendapat nilai tertinggi.

 

"Gaya arsitektur dan seni ukir di Aer Mata mempunyai ciri khas perpaduan Hindu, Budha dan Islam," ujar Hasan Fajri, Juru Kunci makam.

 

Di kompleks makam Aer Mata Ratu Ibu, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Makam Imogiri Mataram. Baik itu pintu gerbang, serta punden berundak-undak menuju ke komplek pemakaman. Untuk menuju ke Makam Ratu Ibu sendiri, paling tidak harus melewati sebanyak tiga pintu masuk, yang desainnya mirip dengan candi.

 

Letak dari Makam Ratu Ibu sendiri berada di sisi paling utara, dengan kontruksi bangunan yang lebih tinggi, dibanding dengan makam lain yang ada di sekitar. Sementara, di sisi selatan atau bawah, terdapat banyak makam kuno yang berdasarkan cerita warga sekitar, merupakan keturunan atau abdi dalem dari Ratu Ibu.

 

Makam dari Ratu Ibu sendiri dikemas cukup menarik dan bagus. Selain batu nisan yang mempunyai nilai arisitektur tinggi, makam tersebut juga dikelilingi oleh pagar kayu yang tertutup kain warna hijau.

 

Makam Ratu Ibu adalah makam seorang wanita bernama Sarifah Ambani. Konon, wanita inilah yang melahirkan raja-raja Madura. Menurut dokumen sejarah, Sarifah Ambani adalah keturunan dari Sunan Giri dari Gresik yang dipersunting oleh Pangeran Cakraningrat I dari Madura.

 

Cakraningrat I memerintah Madura pada tahun 1624 atas perintah dari Sultan Agung dari Mataram. Walau demikian, ia lebih banyak tinggal di Mataram mendampingi Sultan Agung. Istri Cakraningrat yang bernama Sarifah Ambani inilah yang selalu tinggal di Kraton Sampang. Mungkin karena itu dia diberi gelar Ratu Ibu.

 

Sarifah adalah figur seorang istri yang taat dan patuh pada semua perintah suaminya. Untuk mengisi waktu senggangnya Sarifah yang menghabiskan waktunya untuk bertapa di Desa Buduran Kecamatan Arosbaya-Bangkalan.


Selanjutnya... Menangis sampai meninggal....



Menangis sampai meninggal


Dalam babad Madura, seperti yang diceritakan juru kunci Pemakaman Aermata, selama dalam pertapaannya Ratu Ibu senantiasa memohon pada Tuhan agar kelak keturunannya dapat menjadi pemegang pucuk pimpinan di Madura.

 

Dan ia juga berharap agar pucuk pimpinan dipegang keturunannya hingga tujuh turunan. Dalam tapanya Ratu Ibu bertemu dengan Nabi Khidir A.S yang dianggap oleh Ratu Ibu sebagai pertanda bahwa permohonannya akan dikabulkan.

 

Merasa pertapaannya sudah cukup, Ratu Ibu pun kembali ke Kraton Sampang. Selang beberapa lama, suaminya, Pangeran Cakraningrat I datang dari Kesultanan Mataram. Kepada suaminya Ratu Ibu menceritakan perihal mimpinya.

 

Tetapi yang terjadi justru kemarahan dari Cakraningrat. Dengan nada marah Cakraningrat berkata "Mengapa kamu hanya memohon tujuh turunan, seharusnya keturunan kita selamanya menjadi pemimpin di Madura," kata Hasan menirukan kata-kata Cakraningrat kepada Syarifah Ambami.

 

Setelah suaminya kembali ke Mataram, dengan perasaan sedih Ratu Ibu kembali bertapa di Desa Buduran. Di sini ia memohon agar permintaan suaminya dapat dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.

 

"Permohonan Ratu Ibu terus dilakukan siang dan malam sambil menangis. Ratu Ibu akhirnya meninggal dan di tempat pertapaannya inilah ia dimakamkan. Menangis saat bertapa. Barangkali karena itulah pemakaman itu akhirnya diberi nama Aer Mata atau air mata,"ujar Hasan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya