- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA.co.id - Adanya mantan terpidana kasus korupsi yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Plt Wakil KPK Johan Budi menilai pejabat yang memiliki riwayat tersandung kasus korupsi tidaklah etis mencalonkan diri menjadi kepala daerah, mengingat kondisi itu akan membuat integritas sebagai kepala daerah menjadi kabur.
Meski begitu, dia menekankan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan Komisi Pemilihan Umum. Sepanjang KPU mengakomodir pencalonan mantan napi itu, maka kata Johan, hal tersebut dipersilakan.
"Tapi dari sisi etis seorang napi pernah dipidana karena kedudukannya sebagai kepala daerah ketika dirunning lagi justru menang, ini kan nggak etis menurut saya. Secara aturan tanya KPUD," kata Johan saat menghadiri peringatan 17 tahun ICW dan pembukaan sekolah antikorupsi di Balai Kartini, Jakarta, Selasa 4 Agustus 2015.
Selain kurang etis, mantan Deputi Pencegahan KPK itu juga menilai pencalonan mantan napi korupsi akan membuat preseden tak baik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
"Pernah survei, money politic dianggap wajar. Ini ada perubahan mindset yang tidak positif pada perkembangan pemberantasan korupsi. Kesadaraan diri yang kurang karena sekarang pejabat korupsi yang maju di pilkada tidak malu untuk berkampanye, bahkan memasang baliho," ujar Johan.
Oleh sebab itu, Johan mengimbau masyarakat agar ketika memilih pemimpin pilihlah secara tepat berdasarkan pilihan dari hati nurani masing-masing.
"Bisa jadi orang dipilih karena berapa besar uang diserahkan, berapa besar uang kampaye yang dikeluarkan. Ini menjadi worry karena perubahan mindset masyarakat yang begitu besar. Ini tugas kita bersama untuk kampanyekan nilai-nilai integritas dan anti korupsi," tegasnya.
Undang-Undang (UU) No.8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak mengatur persyaratan pencalonan kepala daerah (KDH) oleh partai politik (parpol) maupun perorangan (independent) dalam Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada akhir tahun ini dapat mengusung mantan narapidana koruptor, pengedar narkoba, pembunuh, pemerkosa, penyelundup, pelanggar HAM, pelaku gerakan separatis, dan teroris, yang sudah menjalani hukuman pidana selama lima tahun atau lebih.
Hal itu dikarenakan UU Pilkada sudah disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui amar putusan MK Nomor 4/PUU/7/2009 yang berisi telah menganulir UU No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 51 huruf g dan Pasal 50 ayat 1 huruf g dan revisi UU No.12/2008 tentang Pemerinatahan Daerah Pasal 58 huruf f. Pasal-pasal itu menyebutkan seorang caleg atau calon kepala daerah harus memenuhi syarat ‘tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih'.
MK memutuskan ketiga pasal itu inkonstitusional bersyarat. Artinya, ketentuan tersebut dinyatakan inkonstitusional bila tak memenuhi empat syarat yang ditetapkan. Yakni, tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Laporan: Dianty winda