Kisah Perampok Permata Museum Nasional Usai Revolusi

Urban Legend
Sumber :
VIVA.co.id
Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol
- Kusni Kasdut adalah seorang bandit atau penjahat yang dikenal karena melakukan perampokan 11 permata di Museum Gajah pada tanggal 31 Mei 1961. Ia anak seorang petani miskin di Blitar, Jawa Timur, dan bekas anggota laskar masa revolusi.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI
 
Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia
Di masa revolusi kemerdekaan, ia bergabung sebagai laskar rakyat yang bersama TNI bertempur melawan Belanda. Maka berbekal pengalaman semasa revolusi 45, ia mencoba mendaftar masuk TNI.

Namun ia ditolak. Alasannya ia tak resmi terdaftar dalam kesatuan  dan  cacat secara fisik. Kaki kirinya sedikit timpang terserempet peluru tentara Belanda.
 

Kusni pusing pontang-panting tidak mendapat pekerjaan, sehingga ia memutuskan untuk jadi perampok. Ia merampok seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an.


Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan Awab Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembakkan oleh Kusni.

 

Kusni terkenal ketika merampok Museum Nasional Jakarta. Dengan menggunakan jip dan mengenakan seragam polisi palsu, dia pada tanggal 31 Mei 1961 masuk ke Museum Nasional atau Gedung Gajah. Setelah melukai penjaga dia membawa lari 11 permata koleksi museum.

 

Setelah jadi buronan, ia tertangkap ketika mencoba menggadaikan permata hasil rampokannya di Semarang. Petugas pegadaian curiga karena ukurannya yang tidak lazim. Akhirnya ia ditangkap, dijebloskan ke penjara dan ditembak mati pada tanggal 16 Februari 1960.


Selanjutnya...




Pada masa revolusi atau paska revolusi, para bandit atau yang kerap disebut jagoan dihadapkan pada dua pilihan, menjadi seorang kriminal atau revolusioner. Anton Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi dalam Revolusi mengungkapkan adanya peran para bandit yang disebut lenggaong di dalam revolusi.

 

Dalam "peristiwa tiga daerah" di Brebes, Tegal dan Pekalongan mereka memimpin aksi dombreng dan menyerang lurah-lurah dan mantan pejabat kolonial semasa revolusi sosial bulan Oktober 1945. Aksi-aksi tersebut lebih terlihat sebagai bentuk pembalasan terhadap struktur kekuasaan masa lalu yang tidak lagi punya kekuatan untuk berkuasa.


Dombreng berasal dari kata "tong" dan "breng", dua bunyi kata Jawa yang menggambarkan pukulan pada kayu atau kaleng kosong, kentongan kayu (atau apa saja) yang dipukul para pengaraknya.

 

Memang pada arak-arakan dombreng selalu diiringi bunyi kentongan sebagai tanda untuk menyiarkan berita bahwa mereka telah menangkap pencuri desa yang dalam hal ini merujuk kepada para pejabat desa yang korupsi (Lucas: 1989, 143).


Contoh menarik dari aksi lenggaong (baca: bandit) pada masa revolusi adalah Barisan Cengkrong (arit) di Comal. Tokohnya adalah Idris, dan Tarbu sebagai wakilnya. Kelompok ini sering makan di warung-warung pinggir jalan tanpa bayar. Kelompok ini mengangkat Ilham seorang guru desa bekas anggota Sarekat Rakyat dan Sarekat Islam sebagai penasihat politiknya.

 

Barisan Cengkrong melancarkan aksinya dengan memecat lurah Petarukan yang korup. Barisan ini kemudian membagi-bagikan hasil rampasan harta lurah itu kepada rakyat. Tak hanya itu, Barisan Cengkrong juga mengambil alih Pabrik Gula Petarukan.


Lenggaong lain yang juga sama terkenalnya adalah Kutil. Pada bulan Oktober 1945 dedengkot lenggaong ini mendirikan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan menggunakan kantor Bank Rakyat Talang sebagai markasnya.

 

Tujuannya membentuk AMRI ini adalah pembagian kekayaan kepada rakyat, dan tentu saja untuk mendapatkan itu semua ia melaksanakan aksi-aksi perampasan. Tujuan lain dari gerakan yang dipimpinnya adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA.


Pada akhir peristiwa tiga daerah aksi-aksi para lenggaong tersebut berhasil ditumpas oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagian anggotanya dipenjara di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya