Dua Tahun Terusir Usai Tragedi Sampang

Pengungsi Syiah Sampang Direlokasi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dwi Agus Setiawan
VIVA.co.id
Media Dianggap Belum Lindungi Kaum Minoritas
- Beberapa lembaga pendamping para pengungsi Syiah Sampang bersuara lantang mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan korban pengungsi akibat konflik sektarian. Dua tahun setelah pihak berwenang setempat mengusir paksa komunitas Muslim Syiah dari tempat penampungan sementara di sebuah gelanggang olahraga di Sampang, Madura, Jawa Timur, pada 20 Juni 2013, hingga kini mereka hidup sebagai pengungsi di Rumah Puspa Agro Sidoarjo.

Hasyim Muzadi Klarifikasi Tudingan Membela Syiah

Organisasi yang mendesak Presiden di antaranya Amnesty International, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, dan
Purwakarta Tolak Deklarasi Anti-Syiah
the Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia.


“Dua tahun mereka dibiarkan tanpa skema apa pun untuk memulangkan mereka kembali ke kampung halaman,” ujar Koordinator Kontras Surabaya Fatkhul Khoir kepada
VIVA.co.id,
Senin 22 Juni 2015.


Kontras bersama beberapa organisasi itu mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah segera, memastikan pemulangan mereka yang aman, sukarela, dan bermartabat ke rumah-rumah mereka. “Sebab, selama ini mereka diizinkan pulang asal mau berpindah keyakinan. Ini bentuk pemaksaan dan teror atas hak berkeyakinan,” katanya.

 

Diketahui, tragedi pengusiran 20 Juni 2013 merupakan pengusiran paksa kedua yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari setahun. Pada Agustus 2012, mereka diusir dari rumah-rumah mereka di Kabupaten Sampang setelah sebuah kelompok massa anti-Syiah menyerang kampung mereka. Pemimpin religius mereka Tajul Muluk divonis bersalah atas penodaan agama dan dihukum empat tahun penjara di bawah Pasal 156(a) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Sepuluh bulan kemudian, pada Juni 2013, pihak berwenang Kabupaten Sampang mengusir paksa dan memindahkan mereka ke sebuah fasilitas pengungsi di Sidoarjo, Jawa Timur. Paling tidak 333 anggota komunitas ini, termasuk perempuan dan anak-anak masih terus tinggal di sana.


“Mereka dalam ketidakpastian. Ekonomi, pendidikan dan masa depan mereka terenggut di negaranya sendiri. Nasib pendidikan anak-anak sangat mengenaskan. Hanya ada 3 ruang kelas untuk semua jenjang usia anak-anak,” ujar Khoir yang rutin mendampingi pengungsi.


Khoir menegaskan, komunitas Syiah ini dicegah pulang kembali ke kampung mereka oleh pihak berwenang lokal kecuali jika mereka pindah keyakinan kepada Islam Sunni. Tekanan ini merupakan paksaan yang melanggar kebebasan mereka untuk menganut dan memilih agama pilihan mereka. Ini juga bertentangan dengan Pasal 18(2) dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana Indonesia merupakan negara pihaknya.


“Sejauh ini, hampir semua anggota komunitas ini menolak untuk pindah keyakinan. Tapi mereka selalu diteror dan dipaksa untuk pindah keyakinan. Pemerintah tidak pernah serius menyelesaikan konflik sektarian ini.”


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya