Syekh Quro Pendiri Pesantren Pertama di Tanah Jawa

Gerbang makam Syekh Quro di Karawang.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dody Handoko

VIVA.co.id -  Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik. Dia masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali Ra dan Siti Fatimah putri Rosulullah SAW.

Kisah Karomah Abah Anom, Gelas Berisi Ikan

Ulama besar ini bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin. Beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana, termasuk seorang ulama yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya.

Konon, beliau merupakan pencetus pesantren sebagai kawah candradimuka kaum santri. Beliau adalah leluhur, guru dan teman seperjuangan Walisongo dalam mensyiarkan Islam yang kala itu masih dipenuhi sakralisasi Hindu.

Polda Metro Klaim Wilayah Jakarta Aman saat Malam Takbiran

Keberkahan makam Syekh Quro tak lepas dari riwayat penemuannya yang menakjubkan. Juru kunci makam, Habib Rista menceritakan, pada abad ke-17 terdapat seorang yang bernama Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Penganten Sambri.

Beliau keturunan Munding Kawangi dari leluhurnya Kerajaan Galuh Pakuan, Pajajaran. Dia diminta oleh Kesultanan Cirebon untuk mencari tempat maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh Quro.
 
Atas perintah itu, Raden Somaredja pun pergi dengan membawa pengawalnya dari kesultanan menuju ke arah barat yaitu ke daerah Cianjur lalu ke Bogor yaitu ke dusun Citeurep. Tujuannya untuk menemui pangeran Sake turunan dari Syekh Maulana Yusuf dari Banten.

Umat Islam di Amerika Serikat Bakal Rayakan Idul Fitri Rabu 10 April 2024

Raden Somaredja lantas menceritakan maksud dan tujuannya. Di tempat itulah, Raden Somaredja mendapat ilham untuk melanjutkan pencariannya ke daerah Karawang hingga sampailah di Kuta Tandingan.

Di lokasi itu Raden Somaredja bertemu dan disambut baik oleh Eyang Sarpi. Karena Raden Somaredja orang yang baik hati dan cerdas, oleh Eyang Sarpi diangkat menjadi menantu. Dia dinikahkan dengan salah seorang putri angkatnya yang bernama Nyai Anisa.

Pernikahan Raden Somaredja dengan Nyai Anisah dikaruniai tiga putra yaitu, Raden Suryadiredja alias Dji’in, Raden Suryadidjaya alias Mian, Raden Suryawidjaya alias Embeh. Mereka yang kemudian mewariskan para pemimpin Desa Pulo Kalapa dan pengurus makam Syekh Quro.

Semenjak memiliki putra pertama Raden Suryaredja alias Dji’in, sapaan Raden Somaredja berubah menjadi Ayah Dji’in. Sementara istrinya, Nyai Anisah disebut Ma Ini. Sebagai mertua, Eyang Sarpi mengingatkan Raden Somaredja agar segera melanjutkan perjalanannya.
 
Tak lama kemudian, Somaredja beserta keluarga dan para pengawalnya melanjutkan perjalanan ke daerah Karawang sebelah Utara hingga sampai ke salah satu perkampungan yang disebut Pulo Kalapa. Tahun 1850 rombongan Somaredja tiba di sana yang kala itu masih rawa-rawa belantara. Di lahan itulah selajutnya Raden Somaredja mengolahnya menjadi lahan pertanian yang subur.

“Namun pada sewaktu pengelolaan lahan tersebut, ada sesuatu yang aneh di suatu lahan. Di tanah timbul selalu banyak binatang-binatang buas dan berbisa seperti ular, harimau dan sebagainya,” kata juru kunci makam Habib Rista.
 
Bahkan, saban malam Raden Somaredja senantiasa menyaksikan cahaya yang bersinar di tanah timbul itu. Para pengikutnya tak urung jatuh sakit saat membuka lahan tersebut. Penasaran, Raden Somaredja lantas berniat mencari tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi di sana.
 
Sejak mempunyai niatan tersebut, di setiap tidurnya Raden Somaredja kerap bermimpi melihat seorang ulama besar yang berpakaian jubah putih yang tengah bertawasul dan berzikir kepada Allah SWT sembari memegang tasbih. Mimpi ini hadir hingga tiga kali, menghiasi tidur Somaredja. Raden Somaredja pun lantas melakukan istiqomah, dengan hati yang tulus dan ikhlas memohon petunjuk dari Allah SWT.
 
Somaredja mengawali langkah istikomahnya dengan melantunkan azan terlebih dahulu di tempat tersebut. Namun, mendadak ada yang menyahutnya. Pun saat Somaredja selesai bertawasul dan membaca salam, sahutan kembali muncul. 
 
“Ketika dilihat, di depannya ada cahaya yang bersinar dan bersuara serta mengatakan, bahwa beliau adalah Syekh Quro. Tempat itu  persis di atas tumpukan bata bata yang ukurannya tidak sama dengan bata biasa. Sampai sekarang disebut Kramat Pulobata,” ujarnya.

Atas temuan itu, Raden Somaredja langsung melapor ke keraton Cirebon sekaligus mengundang saksi atas temuan itu. Sesuhunan Cirebon lantas mengutus juru kunci Astana Gunung Jati yakni Kyai Talka atau Kyai Tolakoh untuk segera pergi ke tempat temuan Raden Somaredja.
 
Sesampainya di Pulobata, Kyai Tolakoh dan Raden Somaredja masih menjumpai cahaya itu. Terlihat pula oleh keduanya seseorang yang berpakaian jubah putih memegang tasbih yang sedang berdzikir. Saat keduanya mengucapkan salam, bayangan orang yang sedang berdzikir itu menjawab seraya memberikan pesan, "Jaga dan peliharalah tempat ini, Insya Allah  akan membawa keberkahan untuk semuanya." Setelah itu, bayangan dan sinar tersebut menghilang tanpa wujud.
 
Waktu itu bertepatan pada ahri Jum’at malam Sabtu Kliwon akhir bulan Ruwah atau Sya’ban tahun 1277 H / 1859 M . Sejak itulah Raden Somaredja dan Kyai Talka melaporkan temuan tersebut ke kesultanan Cirebon.
 
Para ulama Kraton Cirebon lalu berkunjung ke tempat itu untuk melakukan istighosah bersama. Mereka bersepakat dan meyakini bahwa di tempat itulah keberadaan makam karomah Syekh Quro. Di tempat itulah lantas diberi tanda dengan membawa Batu Jahul atau batu nisan dari Cirebon. Makam yang terletak di Dusun Pulobata, Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang ini salah satu yang ramai dikunjungi peziarah.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya