SBY: Jokowi Keliru Soal RI Masih Berutang ke IMF

Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, saat bertemu akhir 2014 lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo
VIVA.co.id
Pertemuan IMF dan Bank Dunia Bahas Kejahatan Pajak
- Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, meluruskan pernyataan Presiden Joko Widodo menyangkut utang Indonesia kepada International Monetary Fund (IMF). Melalui akunnya di
Facebook
SBY Diminta Tak Perlu Canggung Kritik Jokowi
, Selasa, 28 April 2015, SBY menegaskan bahwa seluruh utang Indonesia kepada IMF sudah lunas sejak tahun 2006 lalu.
SBY Peroleh Gelar Doktor Honoris Causa ke-13

Menurut SBY, .

"Maaf, demi tegaknya kebenaran, saya harus mengatakan bahwa seluruh utang Indonesia kepada IMF sudah kita lunasi pada tahun 2006 yang lalu," tulis SBY.


SBY menjelaskan, keseluruhan utang Indonesia terhadap IMF adalah US$ 9,1 miliar, jika dengan nilai tukar sekarang setara dengan Rp.117 triliun, dan pembayaran terakhirnya kita lunasi pada tahun 2006, atau 4 tahun lebih cepat dari jadwal yang ada. "Sejak itu kita tidak lagi jadi pasien IMF," ujarnya.


Presiden RI dua periode itu masih ingat dengan keputusannya melunasi semua utang kepada IMF 4 tahun lebih cepat dari jatuh tempo. Meskipun sebelumnya ada sejumlah pihak yang menyarankan agar lebih baik pelunasannya dilaksanakan secara bertahap, agar tidak mengganggu ketahanan ekonomi Indonesia.


"Tapi saya berpendapat lain. Lebih baik kalau utang itu segera kita lunasi," beber SBY.


Setidaknya ada 3 alasan mengapa SBY memutuskan untuk segera melunasi utang kepada IMF. Pertama, pertumbuhan ekonomi kita waktu itu telah berada dalam tingkatan yang relatif tinggi. Sehingga aman untuk menjaga ketahanan ekonomi makro dan sektor riil kita.


"Di sisi lain, disamping kekuatan fiskal kita aman, dari segi moneter cadangan devisa kita juga relatif kuat," paparnya.


Kedua, dengan melunasi utang IMF tersebut, Indonesia tidak lagi didikte oleh IMF dan negara-negara donor. Tidak didikte terang SBY, dalam arti perencanaan pembangunan, termasuk APBN dan juga penggunaan keuangan Indonesia, tidak harus mendapatkan persetujuan dari IMF.


"Saya tidak ingin pemerintah disandera. Kita harus merdeka dan berdaulat dalam mengelola perekonomian nasional kita. Saya masih ingat, ketika masih menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (tahun 1999-2000), saya harus "melaporkan" dulu kepada negara-negara donor yang tergabung dalam forum CGI berkaitan dengan kebijakan dan rencana kementerian yang saya pimpin, utamanya menyangkut APBN. Situasinya sungguh tidak nyaman. Pernah saya diminta untuk menaikkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik secara serentak dengan angka yang sangat tinggi. Hal itu saya tolak, karena pasti ekonomi rakyat akan menjadi lebih buruk," kata SBY.


Sedangkan alasan yang ketiga, selama Indonesia masih punya utang kepada IMF, SBY menegaskan, rakyat Indonesia merasa terhina dan dipermalukan. Di mata sebagian rakyat, IMF diidentikkan dengan penjajah. Bahkan IMF-lah yang dianggap membuat krisis ekonomi tahun 1998 benar-benar buruk dan dalam.


Setelah utang IMF lunas, SBY mengaku para pemimpin IMF (Managing Director) satu-persatu berkunjung ke Indonesia dan menemuinya di kantor Presiden, mulai dari Rodrigo de Rato (2007), Dominique Strauss-Kahn (2011) hingga Chistine Lagarde (2012).


"Saya menerima kunjungan mereka dengan kepala tegak. Bahkan, pada kunjungan pemimpin IMF tahun 2012, IMF berharap Indonesia bisa ikut menaruh dananya di IMF karena kita telah menjadi anggota G20, dengan peringkat nomor 16 ekonomi besar dunia. Pasalnya, IMF kekurangan dana untuk digunakan membantu negara yang mengalami krisis berat dan perlu penyelamatan dari IMF. Artinya, tangan kita tidak lagi berada di bawah, tetapi sudah berada di atas," terang purnawirawan Jenderal Angkatan Darat ini.


SBY tak membantah jika yang dimaksudkan Presiden Jokowi, Indonesia masih punya utang luar negeri. Sebab utang Indonesia sudah ada sejak era Presiden Soekarno. Meskipun, ketika dia memimpin Indonesia (2004-2014) rasio utang terhadap GDP terus dapat diturunkan. Hingga akhir tahun 2004 rasio utang terhadap GDP itu sekitar 50,6 %, dan di akhir masa jabatannya tinggal sekitar 25 %.


"Artinya, jika dulu separuh lebih GDP kita itu untuk menanggung utang, maka tanggungan itu telah kita turunkan menjadi seperempatnya. Tetapi, kalau yang dimaksudkan Pak Jokowi bahwa kita masih punya utang kepada IMF, hal itu jelas keliru. Kalau hal ini tidak saya luruskan dan koreksi, dikira saya yang berbohong kepada rakyat, karena sejak tahun 2006 sudah beberapa kali saya sampaikan bahwa Indonesia tidak berhutang lagi kepada IMF," tegas SBY.


"Rakyat pun senang mendengarnya. Saya yakin Pak Jokowi yang waktu itu sudah bersama-sama saya di pemerintahan, sebagai Wali Kota Surakarta, pasti mengetahui kebijakan dan tindakan yang saya ambil selaku Presiden," imbuhnya. (ren)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya