Misteri Suara Gamelan di Rawa Pening

Rawa Pening di Ambarawa, Kabupaten Semarang
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dody Handoko

VIVA.co.id - Rawa Pening adalah danau dengan luas 2.670 hektare yang berada empat kecamatan di Kabupaten Semarang, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Rawa Pening ini berada di cekungan terendah lereng Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu, dan Gunung Ungaran. Rawapening adalah danau yang terjadi secara alamiah.

Di balik pesona keindahan Rawa Pening menyimpan kisah mistis yang tragis. Legenda Rawa Pening masih dipercaya warga sekitar hingga kini. Ular besar yang sering dilihat warga dipercaya sebagai jelmaan Si Baru Klinting. Untuk menghormati legenda tersebut, warga sekitar masih rutin menggelar acara ritual larung sesaji setiap setahun sekali.

Misteri Rawa pening tak cuma tentang ular siluman. Kadang kala, pada malam hari terdengar tabuh gamelan yang cukup keras bergema di sekitar danau dan sungai. Suara itu mirip suara tabuhan gamelan pewayangan, seakan-akan ada hajatan yang sedang digelar. Padahal, tidak ada penduduk desa yang sedang menggelar hajatan.

“Jika kita mencari sumber suara tersebut, suara itu seperti dari seberang sungai, atau danau. Tapi ketika kita menyeberang, sesampainya di seberang suara tersebut menjadi seolah-olah berasal dari tempat kita semula. Aneh tapi nyata, begitulah kenyataannya,” ujar Imam, warga Banyubiru, Ambarawa.

Suara tabuhan gamelan itu bagi kami merupakan pertanda bahwa keesokan harinya pasti akan ada yang meninggal, kecelakaan, atau tenggelam. Mitos menyebutkan, tidak ada orang asli Tuntang yang pernah menjadi korban.

Imam menceritakan, suatu hari terdengar tabuhan gamelan yang sangat semarak, seolah-olah Rawa Pening akan mengadakan hajatan besar. Sekitar tiga hari kemudian, ada celaka.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Dua orang yang menaiki bus dari Semarang hendak turun di sekitar jembatan utama, tetapi sopir dan kernet menolak untuk menurunkan. Ini, karena tempat itu lokasinya tepat di tengah pertemuan dua turunan tajam. Dari arah Solo maupun arah Semarang, keduanya menurun tajam dan bertemu tepat di jembatan utama, seperti melewati lembah.

Pada waktu itu, memang sudah umum terjadi bus-bus menolak menurunkan penumpang di sana. Oleh sopir dan kernet bus, dua orang ini diturunkan di daerah kebun kopi sekitar Bawen. Salah seorang dari penumpang itu adalah kakek tua renta. Ketika hendak diturunkan, kakek itu dengan marah berteriak "Dadi ngene carane? (Jadi begini caranya?)".

Ketika melewati jembatan utama Tuntang, bus itu tiba-tiba oleng, kemudian masuk ke sungai. Terdengar suara benda berat jatuh ke air. Penduduk yang melihat berteriak sekencang-kencangnya memberitahu penduduk lain bahwa ada bus yang terjatuh ke sungai. Tiang-tiang listrik dipukul sekencang-kencangnya berharap, agar penduduk yang lain segera keluar dan memberi pertolongan.

Beberapa orang melompat menceburkan diri, mencoba menolong para penumpang. Tapi apa daya, arus sungai terlampau kuat dan air terlampau keruh. Arus yang kuat membengkokkan badan bus, sehingga pintu-pintu bus tidak dapat dibuka. Tak ada seorang pun penumpang yang berhasil diselamatkan pada hari itu.

Rawa Pening di Ambarawa, Kabupaten Semarang

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Rawa Pening di Ambarawa (VIVA.co.id/Dody Handoko)


Malam itu Rawa Pening berpesta, suara gamelan terdengar hingga beberapa hari kemudian. Sejak saat itu, semua bus bersedia menurunkan penumpang di sekitar jembatan utama Tuntang, Salatiga. (asp)

![vivamore="
Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya