Kisah Kiai Kebal Senapan di Perang 10 November

Diorama Perang 10 November 1945
Sumber :
  • VIVA.co.id/Zumrotul Abidin

VIVA.co.id - Dari ribuan kaum santri yang ikut serta dalam perang 10 November 1945 di Surabaya, tak sedikit dari mereka yang memiliki keistimewaan diri. Seperti  KH Amin dari Tunggul, Paciran, Lamongan, yang saat itu sebagai komandan Hizbullah dalam peristiwa 10 November.

Kiprahnya cukup legendaris sampai sekarang. Bahkan saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH Amin adalah seorang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom delapan kali. Siaran inilah yang membuat kepulangan KH Amin ke Tunggul disambut oleh 3000-an orang untuk meminta ijazah ‘kekebalan’ darinya. Kondisi ini tentu saja membuatnya marah.

“Beliau mengatakan tidak mati karena bomnya meleset," kenang Hazim, anak sulung KH Amin.

Dalam konsolidasi perang 10 November, KH Amin termasuk pelopor mewakili daerah bagian Utara Jawa Timur. Meski saat itu teknologi belum maju, tetapi KH Amin menjalin komunikasi yang baik dengan para Kiai di Jombang, Solo, dan Yogyakarta.

Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan 'misi' mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH Amin menggelar rapat bersama para Kiai di wilayahnya. Menurut penuturan Kiai Hazim, pertemuan itu dilakukan di daerah Blimbing, Paciran. Bersama dengan Kiai Ridlwan Syarqowi (pendiri Pondok Modern Muhammadiyah Paciran), Kiai Hazim menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH Adnan Noer, KH Anshory (ayahanda mantan Ketua PDM Lamongan, KH Afnan Anshory), dan KH Sa'dullah.

"Namun, saat itu saya masih kecil," tutur pria yang saat diwawancara masih dipercaya sebagai penasehat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bojonegoro.

Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, KH Amin juga berangkat ke Surabaya, termasuk mengusahakan pendanaannya untuk berangkat. "Untuk pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin," ungkap Kiai Hazim yang saat itu melihat langsung.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Diorama Perang 10 November 1945

Diorama Perang 10 November 1945 di Museum 10 Nopember Surabaya. (VIVA.co.id/Zumrotul Abidin)
Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Namun seperti para Kiai pada umumnya, setelah revolusi fisik mereka tidak melanjutkan karier militernya secara maksimal. KH Amin hanya sebentar masuk militer, meski sempat mengalami perubahan nama dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia merasa lebih cocok menjadi pengasuh pondok, sehingga mengundurkan diri dari tentara. "Beliau mundur dari TNI ketika berpangkat mayor," ujar Hazim.


Ribuan anggota lain menempuh jalan seperti yang diambil KH Amin, yaitu menanggalkan atribut militer dan kembali ke pesantren. Sebuah langkah sama yang diambil oleh KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, dan KH Baidowi. Sebagian besar bahkan memilih untuk menyingkir dari arena politik sama sekali, sehingga sejarah akhirnya menenggelamkan kiprah mereka yang sebenarnya luar biasa.

![vivamore="
Baca Juga
:"]

[/vivamore]

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya