Membungkam Sejarah Korban (II)

VIVAnews - Tragedi bangsa pada 1965 dan episode sesudahnya adalah salah satu contoh tentang kurun waktu sejarah paling kabur dan gelap. Tahun yang menjadi awal berkuasanya rezim baru yang kontroversial. Tahun dengan fenomena perubahan kebijakan yang sangat drastis.

Sidang Sengketa Pilpres di MK, Bawaslu Sebut Jokowi Bagi-bagi Bansos Tak Langgar Netralitas

Tahun-tahun penuh harapan bagi sebagian masyarakat dan sekaligus menyimpan kekecewaan tak terbendung dari sebagian yang lain. Awal sistem politik yang menghamparkan kemenangan dan sekaligus kekalahan. Musim semi politik bagi Indonesia yang menyeret kisah paling dramatis. Kurun waktu yang menjadi titik pembalikan sejarah politik Indonesia sekaligus merupakan rentang sejarah dengan tumpukan jutaan korban.

Kemenangan sebuah rezim yang melahirkan berbagai dikotomi biner tentang 'pahlawan' dan 'para pemberontak', tentang 'yang suci' dan 'yang biadab', tentang 'kita' dan 'mereka', tentang 'yang terpuji' dan 'yang terkutuk' dan tentang “yang berhak” dan “yang tidak pantas” hidup dalam bumi bangsa ini. Sebuah rezim dengan sekian nalar prasangka yang membelah keragaman, persaudaraan, dan kultus saling menghargai walaupun terselimuti dengan jargon kesatuan dan integrasi bangsa.

Guratan wajah suram itu belum surut. Pelaku kejahatan tetap melenggang dan tidak tersentuh. Sistem kekuasaan masih belum berkehendak untuk merelakan diri membuka proses kebenaran sejarah atas kisah masa lalu yang masih gelap. Penanganan yang tidak menyentuh prinsip keadilan bagi 'korban' politik 1965 - 1966 adalah gambaran nyata atas kecenderungan politik yang masih tertutup. Yang berkuasa terlalu enggan untuk membuka masa lalu sebagai masa lalu yang memang pernah hadir di Indonesia.

Kementerian Perdagangan dan Penegak Hukum Diminta Lebih Tegas Tangani Peredaran Oli Palsu

Tragedi 1965 -1966 adalah babak yang cukup penting untuk dilihat dan dikisahkan kembali. Bukan persoalan siapa yang akan menang dan kalah tetapi membangun sikap kedewasaan bersama untuk melihat kembali masa lalu secara jujur. Menuturkan kembali yang sudah lewat secara kritis merupakan langkah menempatkan sejarah masa lalu pada tempatnya yang pantas sesuai dengan fakta kenyataan yang selurus-lurusnya. Meskipun proses ini seringkali sulit, inilah pintu dasar untuk keluar dari penjara masa lalu. Sebuah modal berharga untuk menjalani masa depan dengan spirit rekonsiliasi yang sebenarnya. Luka kolektif masa lalu yang ditutup-tutupi justru penghambat terbesar untuk membangun fondasi sejarah yang penuh keadaban.

Merenungkan tragedi politik secara jernih, mengajak semua untuk mengingat kembali setiap torehan sejarah dengan penuh empati. Berempati karena begitu mendalam dan kontroversialnya sejarah ini terbangun. Rentang waktu kontroversial ini belum berakhir. Narasi resmi tentang kisah penyelamatan tetap saja bertahan di antara narasi-narasi kecil korban yang berserakan. Sebagai sebuah babak, 1965 adalah transisi politik yang banyak mengisahkan sang korban, terkhusus bagi mereka yang saat ini masih tetap tertawan dalam trauma kolektif.

Fakta masa lalu menjadi lembaran kisah terbesar bangsa yang penuh luka dan kegetiran; tragedi terbesar dengan sekian banyak korban dan sekian banyak ratapan, trauma kolektif dan kengerian. Empat puluh tahun lebih telah berlalu, namun peristiwa tersebut seakan sulit menghilang dan kian membekas bersama-sama dalam memori kolektif bangsa. Bangsa tetap belum beranjak dari posisi semula. Belum terlihat komitmen dan kehendak bersama bahwa rekosiliasi dan pelurusan sejarah adalah sesuatu yang teramat penting.

Ingatan masa lalu yang hidup dalam kuatnya sistem normalisasi dan pengawasan membuat sekian banyak korban masih beku dan tak bersuara. Mereka terbungkam, ketakutan dan kadang putus asa. Suara mereka tenggelam dalam kesenyapan. Kejujuran dan keberanian bertutur harus berhadapan dengan prasangka dan stigma. Segala sifat buruk masih ditempelkan kepada mereka. Labelisasi ini bahkan mengakar dan terserap dalam bawah sadar masyarakat. Masyarakat terdorong untuk tidak hanya phobia tetapi sekaligus terdidik untuk menyemai siklus kebencian. Alih-alih memperjuangkan korban, berdekatan dengan mereka adalah aib dan pelanggaran moral dan politik. Bisa-bisa justru akan menyeret kepada banalitas politik “kambing hitam”. Entah kenapa, inilah kenyataan yang tetap bertahan.  

Stigma mudah diserap menjadi kesadaran dan membentuk perilaku. Dekat dengan para korban sama berarti mencipta kesulitan bagi diri sendiri. Lebih parah lagi akan dicap dan terkatagori sebagai musuh yang harus dicurigai. Inilah malapetaka bagi siapa yang dekat dengan para korban. Nalar pikir ketakutan dan kebencian inilah yang tersemai dalam iklim penyeragaman bahasa, wacana dan tradisi bertutur masyarakat. Kalau tidak mau sulit maka lebih baik diam.

Waktu Idel untuk Kencing Setiap Hari, Laki-laki Harus Tahu Agar Prostat Tetap Sehat

Represi atas ingatan selanjutnya secara sublim membangun ekspresi-ekspresi prasangka. Stigma mendapat lahan basahnya pada kesadaran masyarakat yang ditekan luar biasa untuk bungkam dan tidak bersuara. Kepatuhan pada penyeragaman diskursus membudidayakan kesadaran nomenklatura yang tertutup. Sang korban menjadi “si liyan” yang tidak hanya terikat kontrol dan pengawasan namun sekaligus terpenjara dalam kepungan label negatif yang harus ditanggung.

Penanganan para korban terbatas pada keinginan dan kehendak negara secara sepihak. Suara-suara korban belum diberi tempat sepantasnya. Ruang sejatinya sejarah hanya ada pada masa lalu yang sudah direpresentasikan penguasa. Negara leluasa menguasai ingatan masa lalu korban dengan cara pandang yang seragam. Korban dipaksa untuk selalu mengingat sesuatu yang menjadi kebenaran sejarah dalam perspektif penguasa. Korban sekaligus dipaksa untuk melupakan ingatan tentang kebenaran sejarah yang seharusnya dimiliki. 

Di sisi lain, tak satu pun pelaku bersuara. Mereka enggan untuk terbuka memaparkan masa lalunya. Ruang politik yang masih tertutup, membuat para pelaku (represorer) masih bebas berkeliaran tidak tersentuh hukum. Tidak hanya diam dan berkelit, dalam ruang-ruang kekuasaan yang dimiliki, mereka meneguhkan diri sebagai penentu kebenaran sejarah. Masa lalu disembunyikan dalam kamar penyimpanan yang tertutup rapi. Membukanya dikawatirkan akan membangun gejolak politik yang tidak menyenangkan bagi pelaku dan penguasa.

Membuka sejarah masa lalu bisa menjadi bumerang dan keruntuhan legitimasi. Banyak dari pelaku tentu tidak menginginkan pil rasa pahit akibat keterbukaan masa lalu. Minimal, kondisi inilah yang membuat upaya apapun untuk mengangkat nasib korban tersendat dan terpuruk.

Tri Guntur Narwaya, koordinator Kelompok Studi Rumah Merah Solo, kontributor Mediabersama.com

Logo Media Bersama

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya