Basahan, Kisah Kampung yang Hilang di Semarang

Kota Lama, Semarang
Sumber :
  • http://goexperience.gonla.com

VIVA.co.id - Kampung biasanya terdiri dari beberapa rumah, atau keluarga bertempat tinggal. Namun, siapa sangka di Kota Semarang, Jawa Tengah, ada kampung yang hanya dihuni beberapa orang saja. Kampung Basahan namanya.

Banyak cerita tentang kampung yang ternyata ada di tengah peradaban modern saat ini. Basahan terletak di Kelurahan Sekayu Semarang Tengah, atau Jalan Bojong (Sekarang Jalan Pemuda), Semarang, Jawa Tengah.

Tak banyak yang tahu, kampung ini dulunya berada di tengah Kota Semarang. Memiliki catatan sejarah soal perkembangan kota, sebagai perjalanan peradaban kota yang dikenal dengan lumpianya itu. Ada juga misteri yang melingkupinya.

Pada 2005, Basahan hanya ditinggali dua kepala keluarga dan seorang tua pemulung bernama Sugiarto, alias Mbah Baito (66). Mbah Baito tidak memiliki identitas jelas. Dia tinggal sebatang kara sebagai penduduk perko, atau emper toko. Penghidupannya hanya dari memungut sampah di daerah sekitar. Padahal, Mbah Baito adalah penduduk asli di kampung tersebut. 

Sementara itu, dua keluarga yang masih terdaftar dicatatan sipil dan tercatat tinggal di Basahan adalah Pujiati (71), Ngasimah (55). Keduanya, warga RT 05 RW 03 Kelurahan Sekayu.

Penduduk asli Kampung Basahan memang terusir secara permanen. Kampung itu diapit bangunan megah dan tergusur dengan pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan modern.

Menuju Basahan, kita harus menyusuri lorong sepanjang 70-80 meter. Ini juga jalan pintas antara Jalan Pemuda ke Jalan Piere Tendean, yang lebarnya 1,5 meter.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Tetapi, hanya Mbah Baito sajalah yang masih tinggal di Kampung Basahan. Menurut cerita Mbah Baito, dua tetangganya itu telah pindah ke Kecamatan Ngaliyan, Semarang. Dia tak tahu, kenapa keduanya pindah tempat tinggal. Rumahnya sempat dikontrakkan kepada pendatang waktu itu.

Meski rumah Mbah Baito juga sudah dibeli investor sejak puluhan tahun lalu, tetapi dia memilih bertahan di Basahan, dengan alasan masih mencintai tanah kelahirannya itu. Ajakan anaknya untuk ikut tinggal di daerah Mangkang oleh dia ditolak.

Mbah Baito, yang kini hidup sendiri di tempat itu menjadi satu-satunya generasi terakhir Basahan. Tetapi, di daerah itu sebenarnya Baito tidak tinggal sendiri. Ada beberapa penghuni emperan lain juga tinggal di gang menuju Basahan. Ada Mbah Saman yang usianya kini 76 tahun.

"Tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai mati, saya tetap tinggal di sini. Saya sudah cukup senang hidup di emperan toko," kata Baito saat ditemui VIVA co.id di gang sisa Kampung Basahan berada, Selasa 24 Februari 2015.

Dia sesekali menyeka air matanya, karena teringat Basahan dan masa kecilnya tingga di lingkungan yang dulunya ramai dihuni.

"Dulu tempat ini banyak anak-anak bermain gobak sodor, gundu, dan saat malam hari ramai warga yang jaga di pos kampling," katanya.

Pemandangan itu tak akan pernah dia temui lagi. Menjadi tontonan mahal dan mustahil akan terjadi lagi. Kini, dia hanya bisa melihat gedung-gedung bertingkat, orang-orang berdasi, lalu lalang mobil mewah. Hampir sebagian besar dari mereka tak peduli dengan nasibnya kini.

Cerita masa kecil Mbah Baito telah terbungkus rapi di hatinya dan hanya menjadi kenangan.

"Kenapa dulu, saat tanah saya dibeli cukong saya mau saja," ujarnya, sambil  membersihkan botol air mineral yang dipungutnya.

Pusat Peradaban

Menurut Mbah Baito, Kampung Basahan ada saat seorang ulama besar penyebar Islam bernama Kiai Basah Sentot tinggal di kampung itu. Dia adalah murid Kanjeng Sunan Kalijaga, yang merupakan salah satu Wali dari sembilan Wali di tanah Jawa.

"Beliau (mbah Basah), menurut simbah saya, yang babat alas kampung ini bersama sejumlah muridnya. Waktu masih hutan lebat," katanya sambil menghisap dalam rokoknya.

Babad alas terjadi pada masa perang Diponegoro. Kiai Basahan, kemudian mendirikan gubug-gubug, yang kemudian menjadi rumah-rumah hingga menjadi perkampungan.

"Sebutan Kampung Basahan sendiri yang memberi adalah para santri pengikut Kiai Basahan," katanya.

Saksi sejarah lain, Mbah Saman menjelaskan, dalam perkembangannya, jalan utama yang terletak di Selatan, atau tembusan gang kampung itu dulu bernama Jalan Bojong sekarang Jalan Pemuda.

"Deretan Jalan Bojong dulu terdapat pusat kesenian bernama 'Kamarhola' yang kemudian berganti Greece," katanya.

Di Jalan Bojong itulah, lanjut Mbah Saman, aktivitas kesenian Kota Semarang dulunya berpusat. Diperkirakan, masa aktif sejak sebelum Indonesia merdeka hingga tahun 1960-an. Kesenian yang sering mengisi di antaranya adalah wayang wong Ngesti Pandowo.

Di Jalan itu, dulu juga ada gedung pertujukan bioskop Mitropool, perpustakaan, dan balai wartawan. "Posisinya sekarang yang ditempati Mal Paragon itu," kata Saman.

Menurutnya, nama-nama tempat di Kota Semarang saat ini sudah banyak yang berubah. Mbah Saman juga sempat bercerita waktu mudanya sering nongkrong di Prapatan Stenteling. Prapatan itu telah berganti nama menjadi Simpang Lima Semarang yang merupakan pusat Kota Semarang. 

"Prapatan Stenteling itu sekarang Simpanglima. Pinggir jalan itu, dulu masih berbentuk sawah," jelasnya.

Sementara itu, terlepas dari proses jual beli tanah Kampung Basahan, Baito tetaplah bagian dari warga Jawa Tengah, yang mampu melihat dan mendengar segala kebijakan pemerintah di masa kini.

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Tidak muluk-muluk memang, Baito hanya ingin mengahabiskan masa tuanya di kampung tanah kelahirannya. Baito adalah saksi sejarah yang kampung halamannya kini telah punah. (asp)


10 Kisah Urban Legend Paling Terkenal dari Asia

Baca juga:

Skesta arwah

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Aneh tapi nyata, namun begitulah faktanya.

img_title
VIVA.co.id
19 Januari 2016