Din Syamsuddin: Aroma Dendam di Konflik KPK dan Polri

Din Syamsuddin Sambangi KPK
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Konflik antara dua institusi penegakan hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin ikut angkat bicara.

Dua Mantan Pimpinan KPK Harusnya Sampai Pengadilan

Ditegaskannya, Senin 26 Januari 2015, konflik antara dua institusi ini bersifat personal dan bukan merupakan konflik dua lembaga.

"Konflik ini merupakan masalah besar dan potensial menimbulkan kegaduhan politik," ujar Din Syamsuddin dalam diskusi bertajuk The Public Discussion on Charlie Hebdo dengan tema "Freedom of Speech and Expression is Not Without Limit".
Tak Lagi jadi Pimpinan KPK, Ini Aktivitas Bambang Widjojanto

Din juga menyatakan bahwa masalah ini harus di selesaikan oleh Presiden Joko Widodo sendiri. Menurutnya, Presiden mempunyai hak untuk mengatasi masalah ini tanpa ada intervensi hukum, karena siapa pun tidak boleh mengintervensi proses hukum, terkait dengan status tersangka Komjen Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto.
Respons Istana Soal Deponering AS dan BW

Aroma dendam, tambah Din Syamsuddin, menjadi latar belakang konflik kedua lembaga ini. Walaupun, menurutnya, hal itu sulit dibuktikan dengan kasat mata.

"Terus terang , awal saya menenggarai semua tidak murni. Tetapi, semuanya bernyanyi benci, dendam, dan dengki. Walaupun, saya tidak bisa membuktikan dengan kasat mata," ujarnya lagi.

Dia juga menginginkan, kasus ini menjadi momentum buat membuktikan kepada rakyat secara transparan, objektif, dan terbuka.

Menurutnya, proses hukum harus dilanjutkan dan jangan tanggung-tanggung, semua isu yang beredar terkait korupsi dan rekening gendut di Polri atau pun kasus ketersangkaan Bambang Widjojanto harus dilakukan, agar tidak ada tuduhan-tuduhan dari rakyat.

Orang-orang yang menjadi tersangka, kata Din, seharusnya jangan diberi jabatan publik, atau mundur dari jabatannya. Ini akan menjadi citra buruk seseorang, walaupun harus memegang prinsip praduga tak bersalah.

"Secara etik tidak mendapatkan jabatan publik, karena itu dapat menimbulkan hal-hal negatif bagi masyarakat," ujarnya.

Bayu Januar/Jakarta/asp


Baca juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya