10 Tahun Aceh Bangkit

37 Anak Korban Tsunami Aceh Diduga Jadi Korban Trafficking

Tsunami di Aceh, 2004
Sumber :
  • http://ioc3.unesco.org
VIVAnews
AHY Wanti-wanti Prabowo Usai Bertemu Cak Imin
- Kisah Fanisa Rizkia (15) asal Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe yang berakhir menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia, bukan satu-satunya yang menjadi objek perdagangan manusia.

5 Film Romantis Berlatar Perang Dunia II, Kisah Cinta di Tengah Kekacauan

Sebanyak 37 anak asal Aceh tidak jelas rimbanya dan diduga jadi korban perdagangan manusia. Sejak dilanda tsunami, memang banyak anak-anak asal Aceh yang dipisahkan oleh gelombang tsunami oleh orangtuanya. Mereka juga harus melalui hari-harinya dengan pahit di negeri orang.
10 Tips Mencegah Aksi Kekerasan Antar Siswa di Sekolah


"Kami khawatir anak-anak Aceh lainnya juga sedang bernasib sama seperti Fanisa. Trafficking yang melibatkan lintas negara memang sudah tidak asing terjadi di Aceh," kata Manager Program LBH Anak Aceh, Rudy Bastian kepada VIVAnews, Minggu 21 Desember 2014.


Menurut Rudy, faktor geologis Provinsi Aceh yang berdekatan dengan Malaysia dan Singapura serta negara-negara asia tenggara lainnya, membuat pelaku
trafficking
dengan mudah membawa anak-anak dan wanita Aceh untuk keluar dari Aceh.


LBH Anak Aceh mencatat ada 37 laporan orangtua yang kehilangan anaknya dari tahun 2004 sampai 2012. Anak-anak ini terpisah dari orang tuanya karena efek dari musibah tsunami pada tahun 2004.


Dari sejumlah pengaduan orangtua, LSM ini mencatat ada 37 anak yang diyakini masih selamat dari terjangan musibah tsunami. Keyakinan ini didapat karena pasca tsunami banyak informasi menyatakan bahwa anak mereka pernah dilihat oleh kerabat dan masyarakat yang mengenal anak mereka tersebut dan percaya anak-anak itu selamat dan masih hidup.


"Kami tidak bisa berbuat banyak. Karena keterbatasan wilayah kerja maupun wilayah yurisdiksi yang konon dugaan kami melibatkan lintas negara," kata Rudy lagi.


Katanya, sudah menjadi rahasia umum, banyak anak-anak Aceh pasca tsunami dibawa secara massal ke luar dari daerah Aceh, baik oleh relawan ataupun oleh keluarga yang mengenal anak-anak tersebut. Tapi tidak sedikit ada oknum yang mengaku kerabat dan keluarga anak-anak korban tsunami tersebut.


"Mereka mengaku ingin merawat, tapi justru mencari keuntungan. Kami percaya instansi pemerintah juga mempunyai data serupa pasca kejadian tsunami," katanya.


Karena itu, LBH Anak Aceh meminta pemerintah tidak mengabaikan masalah ini. Kisah Fanisa harus menjadi pelajaran dan harus segara ditemukan jalan keluar untuk menolong mereka yang bernasib sama.


"Sangat menyedihkan kita tidak tahu keberadaannya. Pemerintah harus sigap membuka kembali data-data pengaduan tsunami yang lalu guna mencari dan mengadvokasi kembali keberadaan anak-anak Aceh," katanya.


Selain itu, sinergi antar elemen penegak hukum mesti tingkatkan agar batasan wilayah dan yurisdiksi hukum yang melibatkan lintas negarapun bisa terlacak.


LBH Anak Aceh berharap, agar anak-anak Aceh lainnya yang saat ini masih tidak diketahui keberadaannya dapat segera terungkap dan bisa kembali berkumpul bersama keluarganya.


"Kami mengimbau kepada sejumlah orangtua yang dahulu pasca tsunami pernah melapor tentang kehilangan anaknya untuk bisa kembali melaporkan untuk penyesuaian data identitasnya. Kisah Fanisa dapat menjadi pintu gerbang guna menemukan mereka yang hilang," katanya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya