Kisah Perjuangan Relawan Tunanetra di Longsor Banjarnegara

Relawan longsor Banjarnegara
Sumber :
VIVAnews
Jemaah Salat Id di Bantul Bubar Dipicu Khatib Ceramah Pemilu Curang, Begini Respons Kemenag
- Menjadi relawan di lokasi bencana adalah sebuah tugas mulai yang selalu menjadi impian banyak orang. Namun, tak semua orang dapat menjadi relawan jika tidak memiliki keahlian khusus.

Ginting Gagal Pertahankan Gelar, Jonatan Christie Satu-satunya Wakil Indonesia di Semifinal BAC 2024

Menjadi relawan membutuhkan ketahanan fisik dan pengalaman penyelamatan yang mumpuni. Tapi, bagaimana jika relawan bencana memiliki keterbatasan fisik, seperti tuna netra misalnya?
Bunyi Ceramah Khatib di Bantul yang Viral soal Pemilu Curang Picu Jemaah Salat Id Bubar


Ada yang menarik perhatian saat operasi pencarian dan penyelamatan korban longsor di Dusun Jemblung, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara berlangsung.


Tiga pria yang memiliki keterbatasan fisik, turut dalam operasi longsor itu, mereka di antaranya, Ali (50 tahun), Agus (29 tahun) dan Susilo (34 tahun).


Ali, Agus dan Susilo adalah penderita tunanetra asal Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.


Meski tak dapat melihat, ketiga masuk dalam daftar tim SAR gabungan. Tapi, tugas mereka bukanlah turun ke lokasi untuk mencari korban dan mengevakuasinya.


Mereka ditempatkan di Posko Pengungsian untuk membantu pengungsi yang memiliki keluhan gangguan kesehatan.


"Kami bertiga datang dari Kabupaten Semarang, memang pengen membantu para relawan dan pengungsi lewat jasa memijit, " kata Ali saat berbincang dengan
VIVAnews
di posko pengungsian Mts Muhammadiyah, Karangkobar, Sabtu 20 Desember 2014.


Keberadaan tiga relawan tunanetra ini sangat membantu pengungsi, sebab dalam setiap hari, puluhan pengungsi dapat menikmati pijatan tangan ketiga relawan ini.


"Kalau saya spesialis capek, Susilo spesialis penambah daya dan Agus khusus untuk relaksasi, " ujar dia sembari memijit satu relawan di atas meja.


Mereka baru sejak empat hari yang lalu berada di Posko Pengungsian. Tapi, sudah hampir semua pengungsi yang mendapatkan service pijatan gratis dari mereka.


"Sehari biasanya mampu memijat sampai 20 orang hingga 12 malam. Mereka biasanya kecapean dan masuk angin, " ujar dia.


Tiga pria yang mengaku belajar terapi pijat dari Temanggung, Jawa Tengah itu berharap, melalui keahlian mereka para relawan yang datang tetap segar bugar sejak datang sampai mereka pulang.


"Semoga para korban dan pengungsi juga diberi ketabahan atas musibah yang menimpa serta bisa mengambil hukmahnya. Sebab semua cobaan pasti ada hikmahnya, " katanya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya