Sumber :
- VIVAnews/Imam Zuhdi
VIVAnews
Demikian dikatakan Ketua Aliansi Petani Tembakau (APTI), Sahminudin. Namun, dia mengklaim akibat regulasi pemerintah terkait Aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, produksi tembakau menurun.
Hal itu terjadi karena adanya potensi pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) yang tidak menguntungkan petani, karena doktrin pengendalian dampak kesehatan.
Sahminudin menjelaskan, lahan di Lombok terbilang tandus dan kering, dan tidak memungkinkan ditanam oleh komoditas pertanian lain. Menurut dia, tidak ada komoditas pertanian lain yang mempunyai nilai tambah ekonomi tinggi, menyamai tembakau.
"Oleh karena itu, kami berharap Komnas HAM dapat melihat langsung bahwa tembakau telah menjadi satu kesatuan ekonomi, sosial dan budaya dengan masyarakat. Masyarakat di tempat ini (Lombok) menggantungkan hidupnya dari tembakau, apabila ada upaya pemisahan, ini menjadi bagian dari masalah hak asasiā kata Sahminudin.
Terkait hal itu, Pimpinan Komnas HAM, Siti Noor Laila mengunjungi sentra pertembakuan di Lombok, NTB pada Rabu 15 Okrober 2014. Dalam kunjungan itu Komnas HAM menggelar pertemuan dengan Bupati seluruh Lombok yaitu Bupati Lombok Tengah, Bupati Lombok Timur, Bupati Lombok Utara, dan Bupati Lombok Barat, juga bersasma Rektor Universitas Mataram Prof. Ir. H. Sunarfi, Direktur RRI NTB Amin Maladi, SH, dan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi NTB Ir. Chusnul Fauzi.
Komnas HAM menilai, kunjungannya merupakan agenda penting, sebagai respon dan tindaklanjut atas pengaduan perwakilan petani tembakau.
"Berbagai pemangku kepentingan di sektor pertembakuan, khususnya petani, sebelumnya mengeluhkan mengenai rencana pemerintah melakukan aksesi FCTC, karena dianggap berdampak buruk bagi hak hidup dan berpotensi mengabaikan hak ekosob", kata Laila.
Meski demikian, Laila mengaku bahwa mereka tidak bisa menegakan dan memajukan hak-hak tertentu, misalnya hak kesehatan publik, dengan mengabaikan apalagi mengorbankan hak fundamental seperti hak ekonomi, sosial dan budaya dari masyarakat tertentu.
"Jadi kami harus tahu, sejauh mana dampak terhadap petani, khususnya adanya indikasi pelanggaran hak sehingga upaya perlindungan dan pemenuhan hak ekosob menjadi hilang. Maka kami akan kaji dan dalami, salah satu pintu masuknya adalah melalui dialog dan turun langsung ke lapangan ini", kata Laila.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Hal itu terjadi karena adanya potensi pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) yang tidak menguntungkan petani, karena doktrin pengendalian dampak kesehatan.