Cerita Putri Jenderal Ahmad Yani Tentang G30S/PKI

Pancasila.
Sumber :
  • ANTARA/Rosa Panggabean
VIVAnews - Anak ketiga Pahlawan Revolusi, Jenderal Ahmad Yani, Amelia Yani, menceritakan detik-detik tragedi Gerakan 30 September yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kejadian 49 tahun silam itu mengubah kehidupan keluarga besar para korban menjadi penuh dengan trauma.
Deretan Kisah Mistis yang Terjadi dalam Perang Dunia

Di hadapan para anggota TNI, usai menggelar doa bersama memperingati Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa malam 30 September 2014, Amelia dengan terbata-bata mengungkapkan secara detail, apa yang menimpa tujuh prajurit TNI yang menjadi korban saat itu.
Bernard Arnault, Orang Terkaya di Bumi Tahun 2024 dan Berhasil Geser Posisi Elon Musk

"Sebuah peristiwa berdarah yang mengubah kehidupan kami menjadi penuh trauma dan ratusan ribu keluarga yang tercerai berai, teraniaya dalam bencana kemanusiaan yang kelam," ujarnya.
Gelapnya Dunia Pendidikan: Perundungan Mengancam Kesehatan Mental Calon Dokter Spesialis

Amelia mengisahkan, pagi itu, 1 Oktober 1965, sekitar pukul 04.00-04.30 WIB, pasukan Cakra Birawa melakukan eksekusi pada tujuh prajurit tinggi TNI, dengan tidak menggunakan peri kemanusiaan.

"Mereka memasuki rumah-rumah kami. Mereka bergerak dari Lubang Buaya pada 30 September tengah malam menjelang pagi dan sampai di rumah kami pada pukul 04.00 sampai dengan 04.30 pada 1 Oktober 1965," ujarnya.

Tanpa basa basi, Cakra Birawa mengeksekusi tiga prajurit yang melakukan perlawanan. "Adalah ayah kami Ahmad Yani masih dalam piyama abu-abu dieksekusi di depan istri dan putra putrinya, MT Haryono di depan istri dan putra putrinya dan DI Panjaitan juga di hadapan istri dan putra putrinya," tuturnya.

Sementara itu, menurutnya, keempat prajurit lainnya diculik dan dieksekusi di Lubang Buaya. Keempat prajurit tersebut adalah, S Parman, Piere Tendean, Sutoyo S dan Suprapto.

"Mereka dieksekusi di Lubang Buaya dan kemudian ketujuh prajurit tersebut dimasukkan ke dalam sumur pada kedalaman 12 meter, berdiameter 50 cm, ditimbun tanah, pohon pisang dan nasi-nasi bekas makanan mereka serta dilindas truk-truk PKI," lanjutnya.

Pada 3 September 1965, jenasah ketujuh prajurit tersebut ditemukan di Lubang Buaya dan kemudian mulai diangkat keesokan harinya. Lalu, pada 5 Oktober, tercatat sebagai hari yang bersejarah, di mana perayaan gembira hari jadi TNI berubah menjadi duka yang mendalam disertai proses pemakaman para pahlawan revolusi di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

"Seluruh masyarakat mengiringi dengan tangis dan amarah melihat prajurit TNI yang tidak berdosa menjadi korban di luar batas-batas kemanusiaan," ungkapnya.

Dia mengatakan, kejadian itu merupakan sejarah kelam demokrasi di Indonesia. Di mana sebuah ideologi menggunakan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan dalam mencapai tujuannya, yang tidak lain adalah kekuasaan.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, dia berharap generasi penerus bangsa dapat mengantisipasi terulangnya tragedi serupa. Dengan cara menjadikan Pancasila menjadi satu-satunya ideologi kebangsaan di Indonesia

"Jangan pernah melupakan sejarah kelam itu, karena itu menunjukkan Pancasila itu satu-satunya ideologi bangsa," tegasnya. (one)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya