Bupati Bantul dan Perangkat Desa Menolak Pemilukada Tak Langsung

Simulasi Pilkada DKI Jakarta
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews
Kemenparekraf Fasilitasi 24 Jenama Kreatif di Italia
- Bupati Bantul bersama ribuan ratusan perangkat desa yang tergabung dalam Paguyuban Dukuh (Pandu) menolak pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) tak langsung, sebagaimana usulan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilukada.

Lebih dari 2 Ribu Aparat Tetap Dikerahkan ke MK Meski Relawan Prabowo-Gibran Batal Aksi

Menurut Bupati dan perangkat desa itu, jika kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mencerminkan demokrasi sebagaimana kedaulatan di tangan rakyat.
6 Tips Super Mudah Agar Tetap Wangi Setelah Berolahraga Intensif


"Rakyat adalah pemegang tahta tertinggi sehingga bupati, wali kota dan gubernur adalah amanat langsung dari rakyat, bukan dari segelintir orang yang duduk di lembaga legislatif," kata Sri Suryawidati, Bupati Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 20 September 2014.


Bupati yang diusung koalisi PAN dan Golkar namun kini bergabung ke PDIP itu berpendapat, pemilihan kepala daerah lewat DPRD juga berpotensi menumbuhkembangkan politik transaksional, yakni antara calon kepala daerah dengan anggota Dewan. Kemudian, kepala daerah tunduk pada anggota Dewan bukan pada rakyat.


"Pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga tidak menjamin pelaksanaan pemilukada yang bersih dari
money politic
(praktik politik uang). Bisa saja calon kepala daerah atau wakilnya mencari dukungan dengan berbagai cara," ucapnya.


Mengenai dampak pemilihan langsung yang rawan praktik politik uang dan banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi, menurut Bupati, hal itu sebagai bagian dari proses pendewasaan demokrasi. Fungsi pengawasan oleh DPRD harus diperketat. Selain itu penegakan hukum pun harus tegas kepada siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi.


Kepala daerah tak berdaya


Ketua Pandu Bantul, Sulistyo Atmodjo, menilai pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan mencederai demokrasi. Pemilihan model itu juga sangat berpotensi menurunkan kualitas calon karena setiap orang berlomba-lomba memuaskan anggota Dewan supaya memilihnya.


"Dalam perlombaan tersebut pasti terdapat transaksi yang bakal menjadi lahan baru bagi anggota Dewan untuk menggenjot pendapatannya dan mengabaikan kepentingan rakyat," katanya.


Sulistyo juga mengatakan, kepala daerah bukan alat kelengkapan Dewan dan tidak berhak mengebiri hak warga. "Legitimasi kepala daerah akan tumpul dan kalah dengan dukuh, DPR dan lembaga lain," katanya.


Kepala daerah yang dipilih Dewan, katanya, akan membuat wakil rakyat merasa lebih super. Dampaknya dalam pembahasan raperda (rancangan peraturan daerah) akan didominasi kepentingan Dewan, bukan kepentingan rakyat. “Kepala daerah menjadi akan tidak berdaya.”
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya