Janji Jokowi Mulai Ditagih

Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews
Viral Curhat Pratama Arhan ke Azizah Salsha Usai Timnas U-23 vs Australia Bikin Gemes Netizen
- Janji kampanye Presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi untuk membentuk Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset ditagih oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Saat kampanye dalam Pemilu Presiden, Jokowi bilang akan memisah Kementrian Pendidikan, yaitu Kementrian Pendidikan Dasar-Pertama dan Menengeh serta Kementerian Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi.

Tidak Fokus Berkendara, Pengendara Motor Tabrak BMW Seri 5

"Dulu ketika melakukan kampanye Pak Jokowi-JK berjanji akan ada dua Kementerian Pendidikan. Sekarang kita menagihnya," kata George Iwan Marantika, Kepala Bidang Luar Negeri Aptisi, di Yogyakarta, Senin, 1 September 2014.
4 Tim Lolos 8 Besar Piala Asia U-23, Indonesia Siap Nyusul?


Menurut Marantika, dengan Kementrian Pendidikan saja yang mengurusi sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dinilai kurang fokus. Sebab jumlah perguruan tinggi swasta di Indonesia mencapai 3.485 kampus. Ada 3.385 atau 97 persen merupakan perguruan tinggi swasta (PTS), sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) berjumlah 100 kampus atau 3 persen. Total mahasiswa mencapai lebih dari 3 juta.


"Ketika ada kementerian yang mengurusi sendiri perguruan tinggi, maka akan lebih fokus. Di sisi lain, kementrian tersebut tidak menambah jumlah menteri yang ada karena sebelumnya sudah ada Kementerian Riset dan Teknologi," ujarnya.


Dengan jumlah PTN dan PTS sebanyak itu, sekurang-kurangnya dalam satu tahun perputaran uangnya mencapai Rp100 triliun. Jumlah tersebut tidak sedikit sehingga sangat layak perguruan tinggi di bawah kementrian tersendiri. "Dengan kementrian tersendiri, kerja kementerian tersebut akan lebih fokus.”


Ketua Umum Aptisi, Edy Suandi Hamid, berharap siapa pun menterinya, diharapkan bukan kalangan politikus. Sebab, dunia pendidikan harus dipimpin orang yang mengetahui betul pendidikan, baik di Indonesia maupun luar negeri. “Kita berharap seorang profesional di bidang pendidikan," kata mantan Rektor Universitas Indonesia itu.


Aptisi berharap pemerintah baru nanti melakukan koreksi, lebih mengedepankan substansi dari formalitas dan pencitraan, membuat kebijakan yang realistis, juga mengoptimalkan dan memberi dukungan pada peran masyarakat dalam memajukan pendidikan.


"Kita berharap nanti pemerintah juga memberikan perhatian kepada perguruan tinggi swasta yang jumlahnya sangat dominan," kata Edy.


Dia mengaku banyak kebijakan terbaru yang diangggap aneh dan membingungkan, seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Salah satu pasal yang meresahkan dan menimbulkan pertanyaan di kalangan pendidikan tinggi adalah kewajiban minimal satuan kredit semester (SKS) yang ditempuh program magister atau spesialis satu, dan program doktor atau spesialis dua sebanyak 72 SKS.


"Lazimnya program tersebut antara 36-42 SKS, bahkan kurang. Ini bukan saja mengejutkan dan tidak realistis, tapi tidak lazim di dunia ini. Susah menemukan di dunia ini yang mewajibkan jumlah SKS yang begitu besar. Rata-rata 36-42. Bukan hanya Indonesia, tapi di negera-negara lain, ya, hanya segitu," katanya.


Edy menambahkan, kebijakan pendidikan pemerintahan yang baru harus membumi, melihat realitas yang ada, memberdayakan semua potensi masyarakat untuk terlibat, adil, dan dapat melakukan akselerasi dunia pendidikan Indonesia, baik dari sisi kualitas dan kuantitas.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya