MK Sidangkan Uji Materi UU yang Diajukan Akil

Akil Mochtar
Sumber :
  • ANTARA/Yudhi Mahatma
VIVAnews - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materi undang-undang yang diajukan bekas ketuanya sendiri, Akil Mochtar. Akil yang kini tengah menjalani hukuman sebagai terpidana korupsi itu menguji UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kemenkominfo Mengadakan Talkshow Chip In “Waspada Rekam Jejak Digital di Internet”

Akil merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena UU TPPU ini dipakai Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjeratnya sampai divonis seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
PKS Terbuka untuk Bertemu Prabowo tapi Bukan untuk Menyusul PKB

Ada beberapa pasal dalam UU TPPU ini yang harus dibuktikan oleh Akil bahwa telah bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa pasal yang dia gugat karena telah merugikan hak konstitusinya adalah Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat 1, Pasal 69, Pasal 76 ayat 1, Pasal 77, Pasal 78 ayat 1, dan Pasal 95 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kemenkominfo Gelar Talkshow “Rekam Jejak Digital di Ranah Pendidikan”

Akil menjelaskan melalui pengacaranya Adardam Achyar, beberapa alasan kerugian konstitusional yang dialaminya seperti frasa "patut diduga" dalam Pasal 2 ayat 2. Adanya frasa itu sangat sulit diketahui indikatornya secara pasti dan tidak mencerminkan keadilan dan dapat menimbulkan ketidak pastian hukum.

Kemudian frasa "patut diduga" dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat 1 menyebabkan anggapan bahwa dengan terpenuhinya unsur "patut diduga" maka tidak diperlukan lagi proses pembuktian. Selain itu adalah konsep yang tidak berakar dan bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.

Menurut Akil, TPPU merupakan tindak pidana yang muncul dikarenakan tidak pidana asal, namun dengan adanya ketentuan pasal tersebut, ia menilai bahwa KPK tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan tindak pidana asal.

"Kami mohon frasa "patut diduga" ini dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," kata Adardam di hadapan Hakim MK dalam persidangan.

Selain itu, Akil berpendapat bahwa Pasal 76 ayat 1 memberikan ketidakjelasan tentang siapa yang dimaksud dengan "Penuntut Umum" dalam hal ini, KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan perkara TPPU.

Pemohon menilai perbuatan KPK yang telah melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap dirinya dalam perkara TPPU merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945.

"Kewenangan penyelidikan tidak diatur dalam batang tubuh. Tidak dijelaskan siapa itu penuntut umum. Kemudian pasal ini ditafsirkan sedemikian rupa sehingga KPK melakukan penyelidikan oleh penuntut umum KPK. Mohon ditafsirkan apakah hanya penuntut umum kejaksaan atau boleh juga penuntut umum KPK. Kami minta agar hanya penuntut umum kejaksaan," kata Adardam.

Kemudian, Akil juga mempermasalahkan frasa "tidak wajib" pada pasal 69, yang berbunyi: Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Jika ada frasa "tidak wajib" pada pasal itu, Akil berpendapat bahwa KPK tidak wajib membuktikan adanya pidana asal yang membuat dia dijatuhi pasal pencucian uang.

"Bagaimana itu bisa dikatakan TPPU karena belum tentu itu uang tindak pidana. Pengalaman klien kami dalam penerapannya pasal 69 ini telah diterapkan tidak ada kewajiban penyidik untuk membuktikan tindak pidana asal. Sehingga kemudian harta kekayaan bersangkutan dirampas oleh kKPK," ujar dia.

Sehingga Akil meminta agar kata "tidak wajib" ini diubah menjadi "wajib"

Kemudian, Akil juga mempermasalahkan pasal 78 dan 77. Dalam pasal 77 disebutkan untuk pemeriksaan di pengadilan terdakwa wajib membuktikan harta kekayaan itu adalah bukan berasal dari tindak pidana. "Dalam penerapannya jadi sangat tidak terbatas jadi pemohon berpengalaman bahwa pemohon wajib membuktikan seluruh hartanya tanpa ada batasan mengenai harta yang berkaitan dedengan harta tindak pidana," kata dia.

Untuk itu, Akil meminta MK mengabulkan permohonan menyetujui berbagai perubahan frasa dalam setiap pasal yang merugikan salah satu frasanya adalah "atau patut diduga" dalam pasal 3. Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 77, 78, dan 95 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat.

Atas permohonan itu, Majelis Hakim MK, memberikan beberapa masukan kepada pengacara Akil, Adardam, untuk melakukan perbaikan. MK memberikan waktu kepada Akil selama 14 hari untuk memperbaiki gugatannya tersebut.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya