Gadis Berkawan Harimau dan Orangutan

Erni Suyanti Musabine
Sumber :
  • VIVAnews/Harry Siswoyo

VIVAnews - Yanti, 38 tahun, sedari kecil tak pernah ingin jadi dokter hewan. Apalagi sampai harus menghabiskan waktu hingga berbulan-bulan di dalam hutan belantara dan tak jarang harus menabuh risiko berhadapan dengan maut. Namun demikian, seiring waktu, perempuan yang memiliki nama lengkap Erni Suyanti Musabine ini, seolah menuntun diri menikmati kerasnya hutan untuk menyelamatkan satwa langka Indonesia.

Perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 14 September 1975 ini, menjadi sosok unik di rimba belantara Bengkulu. Profesinya setiap hari harus bergelut dengan satwa langka, seperti harimau, gajah, atau orangutan sumatera.

NASA Sebut Ada Lebih dari 5.000 Planet di Luar Tata Surya, Begini Penjelasannya

Demi tuntutan profesi sekaligus komitmennya untuk menyelamatkan satwa, Yanti harus menjadi dokter honorer Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang siap diturunkan kapan saja, tak mengenal waktu, medan dan cuaca.

“Mungkin bagi sebagian orang saya ini aneh, mau masuk ke hutan cuma untuk menolong hewan buas. Tapi bagi saya ini justru menyenangkan,” kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga tahun 2002 ini.

Lajang yang sempat mengenyam kursus Clinical Rotation di Perth, Australia Barat (2007), dan pendidikan Physical and Chemical Restraint of Wildlife di Zimbabwe, Afrika (2008) ini menuturkan, semenjak kepindahannya ke Bengkulu pada 2004, banyak hal yang telah dilaluinya. Bahkan, seolah ada panggilan hati, ia lebih memilih untuk menetap di dalam kawasan Pusat Konservasi Gajah yang berada jauh di hutan dan hidup berdampingan dengan satwa liar.

Guru dan IRT Jadi Korban Pinjol Ilegal Terbanyak, OJK: Cek Legalitas dan Logis Sebelum Pinjam

Erni Suyanti Musabine

Dia pernah menolak tawaran lima lembaga non pemerintah asing yang kala itu ingin meminangnya untuk dilibatkan dalam proyek mereka. Padahal jelas, gaji di NGO asing jauh lebih lebih besar, termasuk pendanaannya juga mumpuni.

Di BKSDA dia cuma dibayar Rp300 ribu per bulan. Tinggal di hutan dan jauh dari kehidupan kota. "Saya waktu itu cuma  berpikir, BKSDA lebih membutuhkan tenaga saya,” kata Yanti.

Dia mengakui menjadi dokter hewan bukan pilihan hatinya sejak menamatkan pendidikan di SMAN 3 Nganjuk pada 1993. Sebab, anak ketiga dari empat bersaudara ini, sejak kecil menyukai kegiatan yang berbau dengan arsitektur. Karena itu, setelah lulus dia langsung memilih perguruan tinggi yang menawarkan jurusan arsitektur. Namun demikian, keinginannya tersebut tidak bisa langsung terpenuhi. Ia harus menunda keinginannya selama satu tahun, karena kampus yang diidamkan tidak meluluskannya.

Erni Suyanti Musabine

Rendahnya Literasi Keuangan Picu Meningkatnya Korban Pinjol Ilegal

Pada tahun berikutnya juga lagi-lagi kandas. Dengan berat hati, dia harus menerima pilihan kedua, Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Sifat pantang menyerah yang sudah mendarah daging membuat Yanti tetap meneruskan keinginannya menjajal di bidang arsitek. Pada penerimaan mahasiswa baru tahun berikutnya, dia mencoba lagi.

“Tapi lagi-lagi kandas, saya tidak lulus juga. Ya sudah, saya akhirnya memfokuskan diri saja untuk menikmati perkuliahan di kedokteran,” kata Yanti, mengenang.

Pilihan itu makin mengkristal. Apalagi, setelah ia menggabungkan diri dalam kegiatan salah satu NGO Konservasi Satwa Bagi Kehidupan (KSBK) yang saat ini sudah berganti nama menjadi Pro Fauna Indonesia.

“Bermula dari itulah ketertarikan saya terhadap satwa Indonesia makin kuat," katanya.

Menantang maut

Perjuangan Yanti menapaki karir sebagai tenaga honorer di BKSDA dan tenaga ahli di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Sebelat, Bengkulu Utara, terbilang tidak mudah. Dengan sarana dan prasarana yang terbatas, ia harus tinggal dan hidup berdampingan di barak bersama sekurangnya 37 pawang gajah dan polisi kehutanan. Semuanya laki-laki.

PKG yang memiliki luas 7.000 hektare ini bisa ditempuh 5 jam perjalanan darat dari ibu kota Provinsi Bengkulu. Ini merupakan rumah bagi seratusan gajah, harimau sumatera, beruang madu, tapirm, orangutan, dan beragam jenis binatang lainnya.


"Kami harus hidup di tengah binatang buas dengan fasilitas tak memadai," katanya.

Pernah suatu waktu, sekira April 2007, ia mendapatkan panggilan menangani penyelamatan harimau yang terjerat di dalam hutan. Dengan ketersediaan peralatan medis yang terbatas, Yanti didampingi tim Perlindungan Harimau Sumatera dan sejumlah aparat keamanan langsung menuju lokasi.

Erni Suyanti Musabine


Setibanya, dia melihat harimau terjerat kawat hingga kaki depan nyaris putus. "Tapi kami tak punya alat tembak bius," katanya. "Kami harus memutar otak."

Alhasil, tim mengalihkan perhatian harimau. Lalu Yanti menyuntik dari belakang. Dan harimau itu bisa diselamatkan.

Meski menantang maut, Yanti mengaku akan tetap mengabdikan diri menyelamatkan satwa langka.

Erni Suyanti Musabine

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya