Patrialis: Jika Tak Boleh Uji UU Soal MK, MK Mudah Dilumpuhkan

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Hamdan Zoelva
Sumber :
  • Antara/ M Agung Rajasa
VIVAnews
Reaksi Elkan Baggott Usai Ipswich Town Promosi ke Premier League
– Mahkamah Konstitusi membantah pendapat sejumlah orang yang menyatakan tak etis lembaga itu melakukan uji materi terhadap Undang-Undang yang mengatur soal kewenangan MK. Hari ini, Kamis 13 Februari 2014, MK mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang penetapan Perppu Penyelamatan MK yang diusulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Riset: Isu Keberagaman, Kesetaraan dan Inklusivitas Masih Jadi Tantangan Perusahaan di Indonesia

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan, jika MK dilarang menguji Undang-Undang yang mengatur tentang MK, maka lembaganya akan jadi sasaran empuk yang mudah dilumpuhkan. “Itu bisa terjadi melalui pembentukan Undang-Undang untuk kepentingan kekuasaan, yaitu manakala posisi Presiden mendapat dukungan yang kuat dari DPR atau sebaliknya,” kata Patrialis.
Jago Syariah Permudah Pengguna Mengatur Keuangan dengan Cermat


Mantan Menteri Hukum dan HAM itu mengatakan, UUD 1945 tidak melarang MK melakukan uji materi terhadap UU yang mengatur soal MK. Jika bukan MK yang melakukan uji materi, ujar Patrialis, maka tidak ada lembaga konstitusi lain di Indonesia yang bisa melakukan hal tersebut.


“Pertanyaannya, peradilan mana lagi yang secara konstitusional berwenang mengadili pengujian konstitusionalitas terhadap Undang-Undang tersebut?” ujar Patrialis.


Salah satu yang melontarkan kritik kepada MK karena menguji UU tentang Penetapan Perppu Penyelamatan MK adalah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. “Dengan mudah orang bisa menuduh MK tidak mau dibatasi UU dan tidak mau diawasi, karena setiap ada UU seperti itu bisa dengan mudah mereka batalkan,” ujar dia.


Isi Perppu


Perppu MK diterbitkan Presiden Yudhoyono setelah mantan Ketua MK Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 1 Oktober 2013. Berikut 3 substansi Perppu MK:


Pertama, untuk mendapatkan hakim konstitusi yang makin baik, syarat hakim konstitusi sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf i Undang-Undang MK ditambah, “Tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.”


Kedua, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi disempurnakan sehingga memperkuat prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sesuai dengan harapan dan opini publik yang tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang MK.


Untuk itu sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR, dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial.


Panel ahli beranggotakan 7 orang yang terdiri dari: 1 orang diusulkan oleh MA, 1 orang diusulkan oleh DPR, 1 orang diusulkan oleh Presiden, dan 4 orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.


Ketiga, perbaikan sistem pengawasan yang lebih efektif dilakukan dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang sifatnya permanen, dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi.


Oleh karena itu MKHK dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan MK dengan susunan keanggotaan 5 orang terdiri dari: 1 orang mantan hakim konstitusi, 1 orang praktisi hukum, 2 orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang bidang hukum, dan 1 orang tokoh masyarakat. Untuk mengelola dan membantu administrasi MKHK, dibentuk sekretariat yang berkedudukan di KY.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya