Todung Mulya Lubis

Politik Kebebasan Pers Dua Muka

VIVAnews - UUD 1945 tidak secara spesifik menjamin kebebasan pers, tetapi pasal 28E dan 28F sudah menjamin kebebasan pers melalui kebebasan mengeluarkan pendapat, berkomunikasi dan memperoleh informasi. Jadi kita bisa menyebutkan bahwa ‘kebebasan pers’ adalah salah satu constitutional guaranteed human rights.

Sayang kita tidak bisa berpuas diri bahwa kebebasan pers sudah terjamin, tak lagi terancam seperti pada jaman Soekarno dan Soeharto yang represif. Ancaman terhadap kebebasan pers tetap nyata. Ada beberapa ancaman yang mudah diidentifikasi, yaitu:

Pertama, produk perundang-undangan yang masih mengancam kebebasan pers baik itu dari sisa-sisa Undang-undang (UU) Kolonial maupun UU yang dilahirkan pada jaman kemerdekaan ini. Ironisnya, UU yang mengancam kebebasan pers ini juga dilahirkan pada jaman reformasi ini. Antara lain Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), KUHPerdata. UU No 1/1946, UU Pemilu, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Penyiaran dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Kalau produk perundang-undangan ini ditambahi dengan Perda yang dilahirkan oleh daerah berbasiskan otonomi maka dapat dibayangkan betapa tergerusnya kebebasan pers di Indonesia.

Kedua, hasil uji materil ke Mahkamah Konstitusi ternyata masih ada yang berpihak kepada perlunya ancaman terhadap kebebasan pers itu dipertahankan. Mahkamah Konstitusi yang kita sebut sebagai ‘negative legislator’ seharusnya berpihak kepada kebebasan pers ternyata tidak seratus persen mendukung kebebasan pers. Pasal 207, 310 dan 311 KUHP dan Mahkamah Konstitusi tetap berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga, masyarakat pers Indonesia juga terbelah. Ada kelompok yang memandang perlunya pasal-pasal pencemaran nama baik dipertahankan baik dalam konteks pidana maupun perdata, dan pada sisi lain ada kelompok yang menginginkan agar UU Pers itu dijadikan sebagai ‘lex specialis.’ Celakanya UU Pers itu jauh dari lengkap. Artinya UU Pers itu harus direvisi atau diganti. Di sinilah masyarakat pers tidak  berani merevisi UU Pers karena takut hasil revisinya akan lebih buruk lagi. Maklum penguasa revisi UU Pers adalah DPR yang notabene setiap hari menjadi sasaran kritik tajam dari pers.

Keempat, pengadilan juga masih mendua. Pada satu sisi Mahkamah Agung sudah mengeluarkan yurispudensi dan edaran agar kasus yang menyangkut pers maka UU Pers yang musti digunakan, tetapi dalam banyak kasus di tingkat Pengadilan Negeri kita lihat KUHP dan KUHPerdata banyak sekali dijadikan rujukan. Kasus yang menimpa Karim Paputungan (Rakyat Merdeka), Supratman (Rakyat Merdeka), Dahri Nasution (Oposisi) dan Risang Bima Wijaya (Radar Yogya) adalah contoh nyata di mana hakim tetap memberlakukan KUHP dan KUHPerdata. Yang paling mutakhir kita bisa saksikan kasus yang menimpa Upik di Makasar yang dikriminalisasi karena tuduhan pencemaran nama baik.

Kelima, komunitas hukum juga terbelah. Ada yang berpendapat bahwa kriminalisasi terhadap pers itu tetap perlu karena wartawan itu bukanlah warga negara kelas satu. Jadi kenapa musti diistimewakan? Ini kan juga diskriminasi terhadap warga negara lainnya. Sementara itu pada sisi lain ada yang berpendapat bahwa pers memang bukan warga negara istimewa, bisa melakukan kesalahan, tetapi sudah tak jamannya lagi mengkriminalkan pers. Penyelesaian melalui Dewan Pers dengan mekanisme hak jawab dan gugatan perdata ke pengadilan adalah jalan yang ditawarkan walau pers merasa kecut juga melihat hukuman denda dan ganti rugi yang tak masuk akal dan bisa membangkrutkan media seperti yang terjadi pada putusan kasus Time.

Apa yang diuraikan di atas adalah dua wajah dalam penegakan hukum di dunia pers, suatu politik dua muka. Rupanya Indonesia memang sudah mendarah daging sebagai bangsa peragu, tak bisa memilih, dan selalu berada di tengah. Inilah ambivalensi psikologis yang sebagian berakar pada sejarah dan budaya Jawa.

Kita tak pernah mengambil pelajaran dari perjuangan pendiri negara yang menjadikan pers sebagai medium perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan di mana memilih itu adalah sebuah keniscayaan. Kita juga tak pernah belajar dari ucapan orang bijak seperti Jefferson yang mengatakan bahwa dia lebih memilih pers tanpa pemerintahan ketimbang pemerintahan tanpa pers. Di sini kita membaca dengan tegas bahwa kebebasan per situ adalah ‘paramountly important.’

Kita harus akui bahwa tak ada satu negara pun yang secara sempurna menjamin kebebasan pers. Secara tipikal kebebasan pers itu dibatasi oleh peraturan perundangan tentang penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah, pornografi dan beberapa lagi, tetapi semua itu mutlak dalam tataran perdata. Tak boleh ada kriminalisasi terhadap kebebasan pers.

Ke depan, Indonesia harus memilih bahwa hanya hukum perdata lah yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi pers yang bersalah dalam pemberitaan mereka. Pemerintah, DPR dan lembaga peradilan harus dengan tegas dan bijaksana menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkuat lembaga kebebasan pers yang tetap akan kita butuhkan dalam menegakkan demokrasi, supremasi hukum, mengentaskan kemiskinan dan hak asasi manusia.

Todung Mulya Lubis, pemerhati media, dan kuasa hukum Majalah Time.

Asal-usul Pelat Dinas TNI Palsu Fortuner Pengemudi Arogan yang Ngaku Adik Jenderal
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

Erdogan: Selama Masih Hidup, Saya Akan Terus Bela Perjuangan Palestina

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa perjuangan Palestina memberi makna baru pada hidupnya.

img_title
VIVA.co.id
18 April 2024