Kisah Pilu Slamet Suradio, Masinis Kereta Tragedi Bintaro I

Slamet Suradio (74), masinis kereta tragedi Bintaro I.
Sumber :
  • balai-yasa.blogspot
VIVAnews
Kamu Bisa Berbagi Foto Tanpa Internet, Ada Fitur Punya iPhone
- Slamet Suradio (74) tidak akan pernah lupa dengan Tragedi Bintaro I yang terjadi Senin, 19 Oktober 1987 silam. Peristiwa itulah yang telah menyingkirkan dia dari dunia perkeretaapian yang sudah digelutinya selama 32 tahun.

Adzan Berkumandang di Jalur Gaza, Warga Palestina Rayakan Lebaran Diwarnai Bom dan Rumah Runtuh

Slamet adalah orang dibalik kemudi KA 225 jurusan Rangkas Bitung-Jakarta Kota yang bertabrakan dengan KA cepat 220 jurusan Tanah Abang-Merak. Kejadian ini tercatat sebagai salah satu musibah paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia.
Sempat Dilarang Nabi, Bagaimana Hukum Ziarah Kubur di Hari Lebaran? Ini Penjelasan Ustaz Adi Hidayat


Dalam kecelakaan yang merenggut 156 nyawa itu, Slamet dipersalahkan. Dia terbuang jauh dari pekerjaan yang teramat dia cintai. Dia dianggap menyalahi aturan karena memberangkatkan kereta tanpa izin Pimpinan Perjalanan Kereta Api (PPKA).

Kecelakaan itu berawal saat KA 225 yang dikemudikan pria ini sedianya akan bersilang dengan KA 220 Patas di Stasiun Kebayoran yang hendak ke Merak. Itu berarti KA 220 Patas di stasiun Kebayoran harus mengalah, namun PPKA Stasiun Kebayoran tidak mau mengalah dan tetap memberangkatkan KA 220.


PPKA Stasiun Sudimara, Djamhari kemudian memerintahkan juru langsir untuk melangsir KA 225 masuk jalur 3. Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan (kode khusus di dunia perkeretaapian) yang diberikan, karena penuhnya lokomotif pada saat itu.


Slamet lalu membunyikan Semboyan 35 dan berjalan. Juru langsir kaget dan mengejar kereta itu. Ia naik di gerbong paling belakang. Para petugas stasiun juga kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor.


Djamhari mencoba menghentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah. Namun sia-sia.


Djamhari kembali ke stasiun dan membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.


KA 225 berjalan dengan kecepatan 25 km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30 km/jam.


Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 itu rusak berat.


Usai tragedi tersebut, masinis Slamet divonis 5 tahun penjara. Dia juga harus kehilangan pekerjaan dan memilih pulang ke kampung halaman di Purworejo. Nasib serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi, Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Kebayoran Lama, dipenjara selama 10 bulan.


Kini, hari tua Slamet Suradio diisi dengan berjualan rokok eceran di depan toko di kawasan perempatan Kalianyar, Kutoarjo. Sebelumnya, setelah ke luar dari penjara, Slamet kembali bekerja di kereta api. Dia bertugas sebagai pembantu di Dipo dan hanya mendapatkan gaji setengah.


Namun nasib buruk kembali menimpanya. Pada 1994, Slamet diberhentikan dengan tidak hormat oleh Dirjen Perkeretaapian. Dia pulang kampung dan menikah lagi setelah istri pertamanya direbut rekan sesama masinis. Dari pernikahan keduanya, Slamet dikaruniai tiga orang anak.


Nasib memang terlihat kejam untuk lelaki yang pernah menyandang predikat sebagai masinis teladan itu. Sistem telah mencapakkan dia dari dunia perkeretaapian. Bahkan sekadar uang pensiun pun tidak didapatnya.


Kepada
Tim Cakrawala ANTV
, Slamet menuturkan, banyak keganjilan dalam kasus tabrakan maut dimana kesalahan dilimpahkan kepadanya. Dia mengaku menandatangani Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dalam ancaman.


"Saya dipecat, tidak dapat pesangon. Saya berharap diperlakukan sama seperti PNS yang lain," kata Slamet yang masih menyimpan rapi baju seragam PT KAI.


Hingga hari ini Slamet masih berjuang. Dia masih berharap mendapat keadilan dan diperlakukan sama seperti pegawai negeri sipil lainnya, mendapat uang pensiun. Tapi usaha itu sia-sia. Slamet hanya pasrah dan tidak tahu kapan keadilan itu datang. Kerasnya hidup harus terus dijalani Slamet. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya