SBY: Pilih, Mau Pakai Sistem Parlementer atau Tetap Presidensial?

Presiden SBY dan Ketua MPR Sidarto Danusubroto (batik cokelat).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/R.Sukendi
VIVAnews
Namanya Masuk Bursa Cagub DKI, Heru Budi: Pak Arifin Satpol PP Juga Berpotensi
– Sebelas bulan menjelang akhir masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan isu-isu penting di republik ini yang harus menjadi perhatian semua kalangan, khususnya pemimpin Indonesia di masa depan.

Kubu Ganjar-Mahfud Ingin Suara Prabowo-Gibran Nol, Begini Kata KPU

Urutan pertama dari isu yang dianggap krusial oleh SBY adalah soal sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini, apakah parlementer atau presidensial. “Masing-masing sistem punya karakteri sendiri, ada plus-minusnya. Yang penting, yang mana yang mau kita pilih sekarang? Jangan campur-campur, itu sulit,” kata SBY dalam Kongres Kebangsaan yang digelar Forum Pemred di Jakarta, Rabu 11 Desember 2013.
BI Pastikan Masyarakat di Lebaran 2024 Dapat Uang Baru


Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendahnya dukungan politik di parlemen. Indonesia saat ini menganut sistem presidensial. Tapi realitanya, kuat atau tidaknya posisi presiden di negeri ini kerap ditentukan oleh dukungan politik terhadap dia di parlemen. Bila presiden tak mendapat cukup dukungan, maka pemerintahannya mudah digoyang dan kebijakan yang ia keluarkan rawan diganjal.

Soal ketidakjelasan sistem di Indonesia ini pula yang membuat calon presiden Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, akan ke Mahkamah Konstitusi. Pakar hukum tata negara itu menilai waktu pemilihan presiden yang digelar usai pemilihan legislatif tidak tepat. “Seharusnya pemilu presiden lebih dulu, baru pemilu legislatif. Kecuali bila Indonesia menganut sistem parlementer,” kata mantan Menteri Kehakiman itu era Megawati itu.


Isu lain yang dikemukakan oleh SBY adalah soal mekanisme kontrol dan keseimbangan (
check and balances
) antarlembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. “Tidak boleh ada satu lembaga merasa superior, kemudian menganggap yang lain kurang penting,” kata Presiden.


Selanjutnya, kata SBY, penting juga untuk menciptakan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam kerangka otonomi daerah dan desentralisasi yang telat.


Tak kalah penting, harus diperhatikan ke depannya bagaimana cara menciptakan hubungan harmonis antara negara dan rakyat. Apakah negara harus kembali ke era otoriter di mana posisi negara kuat dan menjadi polisi bagi rakyatnya, atau apakah negara harus memberikan ruang dan peran yang lebih luas kepada rakyat. “Lebih sehat kalau
rule of law
ditegakkan, jadi bukan tangan-tangan kekuasaan yang mendisiplinkan masyarakat kita,” kata SBY.


Arah sistem ekonomi negara juga menjadi perhatian SBY. Menurutnya, sistem ekonomi Indonesia harus dipertegas. Saat ini Indonesia tidak menganut kapitalisme di mana semua kegiatan ekonomi diserahkan pada pasar. Indonesia juga tidak menerapkan ekonomi komando di mana semua aktivitas ekonomi dikontrol negara.


“Keduanya tidak akan efisien. Kita harus menyadari bagaimana mekanisme pasar yang efisien dan peran pemerintah yang tepat. Dua-duanya diperlukan agar keadilan tetap terjaga,” kata SBY.


Di bidang hubungan internasional, SBY mempertanyakan apakah prinsip
zero enemy million friends
yang dianut Indonesia masih bisa diterapkan. Prinsip ini dipertanyakan banyak orang setelah Indonesia, dan SBY khususnya, menjadi korban penyadapan negara asing. “Kelangsungan prinsip ini patut kita pikirkan bersama,” kata SBY.


Stabilitas Politik


Soal wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke mekanisme pemilihan tidak langsung oleh DPRD, SBY masih ragu. Sistem pemilihan langsung memang dianggap memakan banyak biaya politik, memicu maraknya politik uang, bahkan menimbulkan korban jiwa di beberapa daerah akibat ketidaksiapan pihak yang kalah menerima hasil pilkada.


Tapi pertanyaannya, kata SBY, apakah jika pilkada tidak langsung seperti pada masa lalu diterapkan kembali, ada jaminan seluruh penyimpangan itu bisa hilang.


Hak dan kewajiban warga negara juga disinggung SBY. “Seperti apa yang berimbang? Semua mengatakan, terlalu mengandalkan hak kemerdekaan dan kebebasan tanpa tanggung jawab dan menjalankan kewajiban adalah situasi yang tidak harmonis,” kata dia.


Terakhir, ujar SBY, stabilitas politik Indonesia ke depan harus dapat terjaga baik. Terlalu menjaga stabilitas politik akan mematikan demokrasi, tapi jika dibiarkan terlalu deras akan menjadi lautan ketidakteraturan, ketidaktertiban, sehingga Indonesia akan jadi negara anarkistis.


“Dua-duanya bukan pilihan kita. Satu hal yang pasti, negara kita memerlukan stabilitas. Kalau dulu dengan tangan yang kuat, dengan alat-alat yang kuat, tentu itu bukan pilihan kita di era sekarang ini. Tapi mesti ada perangkat untuk membuat politik kita stabil,” kata SBY. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya