Menkes Tetap Beri Sanksi Dokter yang Abaikan Pasien

Menkes Nafsiah Mboi Raker dengan Komisi IX DPR
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVAnews - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mendukung aksi solidaritas dokter se-Indonesia, Rabu 27 November 2013. Meski beri dukungan, Nafsiah menghimbau  para dokter yang turun ke jalan supaya tidak mengabaikan kepentingan pasien.

Pelita Air Klaim Tak Ada Kendala saat Angkut Penumpang Arus Balik Lebaran 2024

Ia menegaskan, akan memberikan saksi kepada para dokter atau rumah sakit yang menelantarkan pasien.

"Kalau rumah sakit pemerintah jelas kami berikan sanksi, tapi rumah sakit non Pemerintah tidak dibawah Kemenkes. Ada sanksi manajemen RS sendiri," kata Nafsiah di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta.

Jeep Rubicon Mario Dandy Dilelang dengan Harga Limit Rp809 Juta, Intip Spesifikasinya

Menurutnya, sanksi yang akan diberikan kepada dokter dan rumah sakit yang mengabaikan pasien berbeda-beda, tergantung tingkat kesalahannya. Bila ada dokter atau rumah sakit yang membangkang dan mengabaikan pasien akan dijatuhkan sanksi berat. "Kalau mereka PNS bisa dijatuhkan sanksi sesuai aturan," ujarnya.

Nafsiah menambahkan, Kemenkes terus memantau seluruh rumah sakit selama aksi berlangsung, guna memastikan tidak ada pasien yang terlantar.

Pesan Vicky Prasetyo Jika Meninggal Dunia, Minta Hal Ini ke Keluarga

Seperti diketahui, hari ini para dokter menggelar aksi mogok massal sebagai aksi solidaritas terhadap tiga dokter yang divonis 10 bulan penjara atas tuduhan malapraktek pasien di Manado, Sulawesi Utara. 

Kronologi singkat

Peristiwa berawal ketika dokter Ayu cs melakukan operasi sesar terhadap Julia Faransiska Makatey (Siska) di RS Prof. Dr. RD Kandou Manado. Siska saat itu dibius total. Dokter Ayu kemudian mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai rahimnya, untuk kemudian mengangkat bayi yang dikandungnya.

Setelah bayi diangkat, rahim Siska kemudian dijahit sampai tidak ada pendarahan. Selanjutnya, dilakukan penjahitan terhadap dinding perut. Dalam operasi itu, dokter Ayu dibantu dokter Hendry sebagai asisten operator I dan dokter Hendy sebagai asisten operator II. Mereka berdua bertugas membantu memperjelas area pembedahan yang dilakukan dokter Ayu.

Sebelum operasi dilakukan, dalam catatan MA, ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga Siska tentang berbagai kemungkinan terburuk, termasuk kematian. Dokter Ayu cs juga disebut melakukan pemeriksaan penunjang – pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada – setelah dilakukan pembedahan. MA menyatakan, seharusnya prosedur itu dilakukan sebelum proses pembedahan.

Usai memeriksa jantung Siska, dokter Ayu kemudian melaporkan kepada konsultan jaga bagian kebidanan di RS tersebut, Najoan, bahwa nadi korban 180 kali per menit. Dokter Ayu juga mengatakan hasil pemeriksaan denyut jantung sangat cepat. Namun Najoan menyatakan bukan denyut jantung yang cepat, melainkan kelainan irama jantung atau fibrilasi.

Dokter lain yang menjadi saksi, dokter Hermanus, mengatakan tekanan darah Siska sebelum dibius agak tinggi, yakni 160/70. Dalam kondisi tersebut, pada prinsipnya pembedahan dapat dilakukan, namun dengan anestesi risiko tinggi.

Sementara berdasarkan hasil rekam medis yang dibacakan saksi Dokter Erwin Gidion Kristanto SH Sp F, saat Siska masuk RS, kondisinya lemah dan punya penyakit berat. Berdasarkan uraian para saksi itulah MA memutuskan dokter Ayu cs “lalai dalam menangani korban saat masih hidup dan ketika pelaksanaan operasi, sehingga korban mengalami emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung.”

Emboli udara itu menghambat darah masuk ke paru-paru hingga mengakibatkan kegagalan fungsi paru dan jantung. Akibatnya, Siska pun menunggal dunia. (umi)

Baca juga :

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya