Menkes: Siapa Mau Jadi Dokter Jika Pasien Mati Dia Dihukum?

Menkes Nafsiah Mboi Raker dengan Komisi IX DPR
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin
VIVAnews
1 Poin dari Markas Persib Cukup Membuat Bhayangkara FC Bersyukur
– Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan tidak ada dokter yang bertujuan membunuh pasiennya. Ia meminta masyarakat tak selalu menyalahkan dokter atas kasus kematian terhadap pasien. Menkes pun menyesalkan kasus tiga dokter kandungan yang dipenjarakan Mahkamah Agung karena dinilai lalai menangani pasien dan berakibat pada kematian si pasien.

BUMI Resources Cetak Laba Bersih US$117,4 Juta di Tahun 2023

“Dokter pasti ingin menyehatkan orang lain. Setiap dokter telah bersumpah mengutamakan pelayanan untuk mengobati pasien. Tidak masuk akal kalau dokter punya tujuan membunuh orang,” kata Menkes dalam konferensi persnya di Kementerian Kesehatan, Rabu 27 November 2013.
Arus Mobil saat Mudik 2024 Meningkat, Astra Infra Siapkan Hal Ini


“Saya khawatir jika nanti dalam setiap kasus kematian dokternya dihukum, maka siapa yang mau jadi dokter?” ujar Nafsiah. Ia pun meminta masyarakat mendukung para dokter.


Menkes kemudian menunjukkan foto dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian yang masing-masing divonis penjara 10 bulan oleh Mahkamah Agung. “Saya sendiri memberi dukungan mental kepada dokter Ayu karena dia punya anak kecil. Dipenjara itu trauma mental yang luar biasa,” ujarnya.


“Mereka tidak ada yang bertampang pembunuh. Sekarang mereka dalam keadaan stres yang sangat besar,” kata Nafsiah. Apapun, ia meminta para para dokter untuk tetap bertugas dan mengabdi di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah terpencil.


Kronologi singkat


Peristiwa berawal ketika dokter Ayu cs melakukan operasi sesar terhadap Julia Faransiska Makatey (Siska) di RS Prof. Dr. RD Kandou Manado. Siska saat itu dibius total. Dokter Ayu kemudian mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai rahimnya, untuk kemudian mengangkat bayi yang dikandungnya.


Setelah bayi diangkat, rahim Siska kemudian dijahit sampai tidak ada pendarahan. Selanjutnya, dilakukan penjahitan terhadap dinding perut. Dalam operasi itu, dokter Ayu dibantu dokter Hendry sebagai asisten operator I dan dokter Hendy sebagai asisten operator II. Mereka berdua bertugas membantu memperjelas area pembedahan yang dilakukan dokter Ayu.


Sebelum operasi dilakukan, dalam catatan MA, ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga Siska tentang berbagai kemungkinan terburuk, termasuk kematian. Dokter Ayu cs juga disebut melakukan pemeriksaan penunjang – pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada – setelah dilakukan pembedahan. MA menyatakan, seharusnya prosedur itu dilakukan sebelum proses pembedahan.


Usai memeriksa jantung Siska, dokter Ayu kemudian melaporkan kepada konsultan jaga bagian kebidanan di RS tersebut, Najoan, bahwa nadi korban 180 kali per menit. Dokter Ayu juga mengatakan hasil pemeriksaan denyut jantung sangat cepat. Namun Najoan menyatakan bukan denyut jantung yang cepat, melainkan kelainan irama jantung atau fibrilasi.


Dokter lain yang menjadi saksi, dokter Hermanus, mengatakan tekanan darah Siska sebelum dibius agak tinggi, yakni 160/70. Dalam kondisi tersebut, pada prinsipnya pembedahan dapat dilakukan, namun dengan anestesi risiko tinggi.


Sementara berdasarkan hasil rekam medis yang dibacakan saksi Dokter Erwin Gidion Kristanto SH Sp F, saat Siska masuk RS, kondisinya lemah dan punya penyakit berat. Berdasarkan uraian para saksi itulah MA memutuskan dokter Ayu cs “lalai dalam menangani korban saat masih hidup dan ketika pelaksanaan operasi, sehingga korban mengalami emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung.”


Emboli udara itu menghambat darah masuk ke paru-paru hingga mengakibatkan kegagalan fungsi paru dan jantung. Akibatnya, Siska pun menunggal dunia. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya