- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews - Komisioner Komisi Yudisial(KY), Taufiqurrahman Sahuri menilai, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Mahkamah Konstitusi (MK) yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berpotensi terjadi sengketa antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam perppu itu, katanya, diatur bahwa majelis kehormatan MK terdiri dari orang-orang yang dibentuk oleh MK dan KY.
"Tapi MK ambil keputusan sendiri, jalan sendiri. Bila ada sengketa kewenangan antara KY dan MK, lalu mau dibawa kemana?," kata Taufiq dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 16 November 2013.
Jika sudah ada sengketa keputusan majelis etik antara MK dan KY, lsiapa yang akan menengahi? "Mungkin DPR bisa mengengahi," usulnya.
Namun untuk menghindari sengketa Perppu, pemerintah bisa mengubah isi Undang-undang Kehakiman. Semula ada pasal yang tidak menyebutkan hakim konstitusi tak diawasi, diubah menjadi diawasi.
"Kalau pengawas tidak ada, nanti terjadi tuduhan yang tidak-tidak," ujarnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan, ada poin dalam Perppu sebagai dasar pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi yang bersifat permanen. Berbeda dengan majelis kehormatan hakim konstitusi yang ada saat ini, yang sifatnya ad hoc, dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi dalam memutus suatu perkara.
Djoko menjelaskan, majelis kehormatan hakim konstitusi dibentuk oleh MK dan KY dengan keanggotaan sebanyak lima orang, terdiri satu orang mantan hakim konstritusi, satu orang praktisi hukum, satu orang akademisi yang berlatar belakang hukum dan satu orang tokoh masyarakat.
"Untuk mengelola dan membantu majelis kehormatan hakim konstitusi, maka akan dibentuk sekretariat yang akan berkantor di Komisi Yudisial," kata Djoko.