Makna Bukit Barisan Bagi Orang Minang

Kereta Api melintasi Lembah Anai di Sumatera Barat
Sumber :
  • VIVAnews/ Eri Naldi
VIVAnews
Berduka Atas Meninggalnya Ayah Nassar, Inul Daratista Beri Doa Terbaik
- Beberapa hari ini, Bukit Barisan banyak diberitakan menyusul hilangnya satu rombongan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Solok di sana. Rombongan yang dipimpin Ketua DPRD Kabupaten Solok Syafri ini diduga tersesat di perbatasan Kabupaten Solok dan Kota Padang yang dipisahkan Bukit Barisan.

Live World Boxing Welter Super WBO dan WBC, Tszyu vs Sebastian Fundora Tayang Akhir Pekan di tvOne

Tidak seperti namanya, Bukit Barisan adalah pegunungan yang memanjang dari ujung selatan Pulau Sumatera di Provinsi Lampung sampai ke ujung utara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam lebih dari 1.600 kilometer. Pegunungan ini membentang di tengah-tengah, dataran di sebelah timur lebih luas daripada di sebelah barat pegunungan.
Daftar Tempat Charging Mobil Listrik di Tol Trans Jawa saat Mudik Lebaran 2024


Jelas Bukit Barisan bukan bukit tersendiri, melainkan penuh jejeran bukit, gunung dan gunung api. Bukit Barisan merupakan penampakan dari Patahan Semangko, patahan muda di atas Lempeng Eurasia atau disebut juga Lempeng Sunda. Di Sumatera Barat, Patahan Semangko ini paling terlihat nyata di Ngarai Sianok, sebuah lembah permai yang memisahkan Kota Bukittinggi dari Kabupaten Agam.


Di Patahan Semangko atau di Bukit Barisan ini, muncul sejumlah gunung api seperti Gunung Merapi di Sumatera Barat, Gunung Sibayak di Sumatera Utara, Gunung Kerinci di perbatasan Sumatera Barat, Jambi dan Bengkulu dan Gunung Dempo di perbatasan Sumatera Selatan dengan Bengkulu. Gunung Kerinci adalah gunung tertinggi di Sumatera (3.805 meter di atas permukaan laut).


Menurut pakar gempa Universitas Gadjah Mada, Subagyo, Lempeng Eurasia ini lebih tua dari Lempeng Indo-Australia yang menghujam ke bawah Eurasia. Pertemuan dua lempeng dan gesekan Patahan Semangko ini yang menyebabkan Pulau Sumatera berulang kali dihajar gempa dahsyat.


Pemisah Kultural


Di Sumatera Barat, Bukit Barisan ini merupakan pemisah kultural. Masyarakat Minangkabau awalnya hidup menetap di pegunungan, di dataran tinggi di sisi timur pegunungan yang kemudian disebut sebagai "Darek" yang harfiahnya berarti "Darat". Konon, dalam legenda, sisi timur dan barat dari pegunungan itu dulu lautan, sehingga nenek moyang pertama orang Minangkabau kemudian berlayar ke daratan yang kini disebut Gunung Merapi. Mereka menetap dan membangun negeri yang kemudian dikenal sebagai Nagari Pariangan.


Darek ini terbagi atas tiga luhak sehingga disebut "Luhak Nan Tuo" atau "daerah yang tua", yakni 50 Koto, Tanah Datar dan Agam. Luhak 50 Koto di sisi utara dan timur, Tanah Datar di sisi selatan dan Agam di sisi barat pegunungan Bukit Barisan. Di tengah-tengah ketiganya adalah Gunung Merapi. Di luar ketiga luhak itu, disebut sebagai "Rantau".


Ketiga luhak ini nyaris terisolasi dari sisi timur dan barat pegunungan yang lebih landai. Perhubungan dengan negeri-negeri Rantau harus menempuh bukit, jurang dan sungai yang deras di Pegunungan Bukit Barisan.


Tsuyoshi Kato, dalam bukunya berjudul "Adat Minangkabau & Merantau", menuliskan, awalnya Orang Minangkabau ini merantau ke arah timur, melintasi pegunungan Bukit Barisan menuju dataran yang sekarang dikenal sebagai Riau dan Jambi. "Mengikuti empat sungai di Sumatera timur, Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Indragiri dan Sungai Batanhari," kata Kato dalam buku yang diterbitkan tahun 2005 itu.


Sementara migrasi ke arah barat pegunungan, ke daerah yang sekarang disebut sebagai Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, lebih sulit karena lebih terjal dan sungainya nyaris tak bisa diarungi dengan perahu. "Jalan yang menghubungkan Kayu Tanam di rantau dan Padang Panjang di darek, hanya enam belas kilometer panjangnya, tetapi mendaki lebih dari 600 meter," kata Kato. Kini jalan yang melintasi Air Terjun Lembah Anai ini dikenal sebagai Jalan Silaiang, tetap menjadi jalan utama penghubung Kota Padang dengan Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh hingga kini.


Jalan ke barat Pegunungan Bukit Barisan ini dikembangkan lebih baik di era pemerintahan kolonial. Sir Thomas Stanford Raffless misalnya, tahun 1818, membangun jalan menghubungkan Kota Padang dengan Pagarruyung melewati daerah yang kini disebut Solok. Jalan ini kini disebut sebagai Jalan Sitinjau Laut.


Tahun 1850-an, Belanda juga membangun jalan menghubungkan Rao di pedalaman ke Air Bangis di pinggir Samudera Hindia, Danau Maninjau ke Tiku dan Padang Panjang ke Pariaman.  Setelah ditemukan batu bara di Sawahlunto tahun 1867, beberapa tahun kemudian pemerintah kolonial membangun jaringan kereta api menghubungkan Sawahlunto dengan Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan Pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang.


Dan sejak itu, perhubungan antara masyarakat di Pegunungan Bukit Barisan, antara sisi barat dan timurnya, menjadi lebih intensif. Konsentrasi penduduk yang awalnya banyak di pegunungan, pelan-pelan berpindah ke pinggir pantai.


Sementara, sejumlah jalur perhubungan kuno pelan-pelan menghilang menghutan kembali karena masyarakat lebih memilih Jalan Silaiang dan Sitinjau Laut untuk bepergian. Jalur-jalur kuno antara lain antara Kabupaten Solok Selatan dengan Pesisir Selatan dan antara Kabupaten Solok dengan Kota Padang seperti yang dinapaktilasi oleh Ketua DPRD Kabupaten Solok Syafri itu. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya