Cara Tepat Memandang Penyandang Disabilitas

Ilustrasi penyandang disabilitas
Sumber :
VIVAnews -
Bertemu Tony Blair, Menko Airlangga Bahas Inklusivitas Keuangan Hingga Stabilitas Geopolitik
Konsep disabilitas saat ini belum sepenuhnya dimengerti masyarakat, sehingga banyak sebutan bagi para penyandangnya. Untuk memahami konsep itu, ada beberapa cara memandang hal yang bernama disabilitas.

Jaga Toko Kue Sendirian, Pegawai Wanita Ini Jadi Korban Tindakan Asusila

"Sepertinya yang menjadi isu problem di Indonesia itu siapa dan apa yang menjadi penyandang cacat. Ada yang menyebutnya disabilitas, difabel, penyandang cacat, dan berkebutuhan khusus. Ini sama dengan perempuan dan wanita," kata seorang penyandang disabilitas, Slamet Thohari, saat ditemui dalam acara "Workshop Guidelines Journalism for Disabilities Issue," di Hotel Cipayung Asri, Bogor, Jawa Barat, Sabtu 16 Februari 2013.
Sebagian Daerah Hapus Pajak Progresif dan Bea Balik Nama, Ini Daftarnya


Menurut dia, ada tujuh konsep dalam memandang disabilitas, yaitu konsep medis, charity
atau derma, kepahlawanan, perkara moral, sosial, politik, dan segi kebudayaan.


Disabilitas, jika dilihat dari bidang medis, kata Slamet, mulai diperkenalkan sejak zaman kolonial. Lalu pada 1970, WHO telah membuat klasifikasi tentang disabilitas untuk mempermudah penanganan medis terhadap penyandang ini. Menurutnya, disabilitas dalam konsep ini adalah patologi atau kondisi yang harus disembuhkan dan ditangani secara khusus.


Dari sisi
charity
, Slamet mengkritik pandangan masyarakat. Kaum disabilitas sering dianggap sebagai sebuah tragedi yang perlu ditangani lewat kedermawanan. "Pandangan ini banyak dianut di Indonesia. Misalnya, saat bulan tertentu, ada sumbangan ke panti asuhan yang berisi tunanetra," kata dia.


Penyandang disabilitas ini juga mengeluhkan media massa yang mengangkat sosok seorang disabilitas sebagai kisah tentang seorang penyandang disabilitas yang hebat dan seolah-oleh menganggap bahwa mereka adalah sosok yang luar biasa. "Mengapa yang diangkat itu bukan difabel yang lari-lari di rel kereta api?" kata dia.


Pandangan disabilitas, kata Slamet, harus diubah dari bentuk kelemahan moral. Pandangan yang seperti ini sering ditemui di kotbah keagamaan yang sering mengimbau kelompok ini untuk mensyukuri keterbatasannya dan tidak mempersalahkan dirinya.


Selanjutnya, difabel merupakan produk sosial yang dibangun masyarakat. Ada pelabelan kecacatan bagi seseorang yang memiliki keterbatasan dari masyarakat yang "able." Di bagian ini, dia lebih menyukai istilah "difabel" daripada "disabilitas." "Saya lebih suka difabel," kata dia.


Lalu, pandangan disabilitas dari konsep politik. Dia memberi contoh, untuk menentukan sesuatu, kaum borjuis lebih berkuasa daripada minoritas. Begitu pula dengan kaum
non disable
terhadap penyandang disabilitas.


Terakhir dari segi kebudayaan. Slamet mengakui tidak semua lingkungan yang membedakan penyandang disabilitas dengan yang
non disable
. Misalnya, tambah dia, di Keraton Yogyakarta ada tempat untuk mereka. Mereka cenderung menghormati para penyandang keterbatasan.


Seorang tunadaksa ini menceritakan dia pernah ditanya dengan bahasa Jawa halus saat mengantre bensin di SPBU. "Saya ditanya
'Panjenengan badhe tindhak pundi
?
(Anda hendak pergi ke mana?)' Kalau teman saya yang boncengin saya, mungkin ditanya
'Arep ning ngendi, Le
?'" kata dia. (eh)



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya