Siapa Anwar Congo, Si Pemeran Algojo PKI

pelaku sejarah penumpasan PKI Anwar Congo
Sumber :
  • ANTARA/Irsan Mulyadi

VIVAnews - Nama Anwar Congo tiba-tiba mendunia sejak memerankan Film dokumenter berjudul The Act Of Killing. Film karya Joshua Oppenheimer itu bercerita tentang penumpasan komunis paska peristiwa G30S/PKI. Bahkan film itu akan diputar di Festival Film Internasional Toronto, Kanada.

Film karya sutradara asal Amerika Serikat ini mengungkap cerita upaya yang dilakukan oleh tokoh pemuda Indonesia pada masa itu atau yang dikenal dengan sebutan 'Angkatan 66'. Anwar Congo menjadi salah satu saksi hidup pemberantasan komunis di Sumatera Utara.

Anwar Congo merupakan pemuda yang hanya berpendidikan hingga kelas IV SD Taman Siswa, Medan. Dia sangat dikenal di kalangan anak muda kota Medan. Ketenarannya itu lantaran kesehariannya berada 'Medan Bioskop' yang dulu terletak di Jalan Sutomo, Medan.

Di tempat inilah Anwar manggkal bersama teman seperkumpulannya. Hobinya menonton film di bioskop itulah yang membuatnya mulai terkenal dan membuatnya diangkat menjadi assisten manager di Medan Bioskop. Sebelumnya, dia juga sempat menjadi centeng menjual karcis bioskop ilegal.

VIVAnews berkunjung ke kediaman Anwar Congo yang terletak di kawasan Medan Area. Rumah yang dihuninya bersama keluarganya ini terlihat sangat sederhana. 

Namun keasriannya sangat terasa saat meliat bunga-bunga dan berbagai aksesoris yang tampak menghiasi teras rumahnya. Salah satunya patung bergambar wajahnya dan cenderamata yang diterimanya dan poster film Arsan dan Aminah yang diperankannya.

Di halaman rumahnya, tampak sebuah bendera merah putih berkibar. Kebetulan Indonesia sedang memperingati hari Kesaktian Pancasila, 1 oktober 2012. Sebagai warga negara Indonesia, pria yang kini akrab dipanggil Abah ini memberikan contoh kepada para tetangganya untuk memaknai hari Kesaktian Pancasila yang merupakan salah satu sejarah panjang perjalanan Indonesia. Baginya pengibaran bendera itu merupakan salah satu bentuk rasa cinta tanah air.

Hampir setengah jam menunggu penghuni rumah keluar, saat itu istri Abah membukakan pintu dan langsung mengatakan bahwa Abah sedang tidak berada di rumah. "Bapak lagi pergi, tadi naik motor ke luar. Tidak tahu kapan pulangnya. Biasanya pulang malam. Kalau mau nunggu silakan, cuma kalau malam dia tidak mau terima tamu," ujar istrinya kepada wartawan VIVAnews.

Hampir 4 jam menunggu, akhirnya Abah muncul mengendarai sepeda motor Honda Vario merah miliknya. Dia langsung masuk ke rumahnya. Beginilah tiap hari rutinitasnya menikmati hari tuanya dengan bersantai berkeliling dengan sepeda motornya yang sudah termodifikasi. Rambutnya yang memutih di usianya yang sudah mencapai 72 tahun masih terlihat sehat dan gagah.

Sulit sekali menemui pemeran utama film dokumenter yang menjadi buah bibir di mata Internasional saat ini. Menunggu hampir 7 jam lamanya, bahkan istrinya sempat berusaha mengurungkan niat untuk mewawanncarai suaminya. 

Hingga akhirnya yang ditunggu-tunggu ke luar rumah untuk menurunkan bendera merah putihnya. Kesempatan ini pun dimanfaatkan untuk mengajaknya wawancara. Sosoknya tidak sekeji yang digambarkan di dalam film, saat berbicara dia menunjukkan keramahannya.

Anwar juga terlihat cerdas meskipun pendidikan tidak tinggi. Tidak aneh, sebab meski tidak tamat SD, dia gemar membaca, terutama buku-buku bertema sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Hobi lainnya, memancing.

Meskipun sempat mengatakan tidak akan mau bercerita mengenai apapun. Perlahan akhirnya dia pun mau bercerita mengenai kehidupannya dan film The Act of Killing. Anwar mengaku dalam dua hari terakhir hidupnya tidak tenang karena banyak pemberitaan tentang dirinya terkait penumpasan kaum Komunis di Sumatera Utara.

"Seminggu ini banyak orang media datang menemui saya, begitulah setiap hari dan saya menceritakan tentang kejadian pada tahun itu dan tentang film itu kepada setiap orang yang mewawancarai. Itulah membuat saya sedikit merasa letih," ujarnya.

Dia juga menuturkan kedatangan sejumlah wartawan asing. "Dari Al Jazeera TV tiga orang membawa saya ke lokasi-lokasi syuting film itu," ungkap Anwar.

Sebelumnya Anwar terbuka dan terang-terangan membeberkan peristiwa yang terjadi pada 1966 lalu dan film yang diperankannya. Bahkan sempat mengadakan konferensi pers. Namun belakangan ini dia mengaku sengaja menghindari para pencari berita.

Sebabnya, dia merasa kecewa dengan beberapa media yang menulisnya sebagai 'Penjagal'. Baginya kata 'Jagal' dinilai kurang tepat untuk menggambarkan hidupnya di masa muda.

"Banyak wartawan yang datang dan saya terima, sempat juga buat konferensi pers minggu lalu. Tetapi ketika saya baca di beritanya tentang saya, banyak sekali penyebutan yang saya rasa tak pantas. Ada yang menulis saya adalah penjagal dan pembunuh yang terlibat dalam pembunuhan massal pada waktu itu," tuturnya.

"Terlalu kejam menuliskannya sebagai penjagal. Dampaknya sangat terasa bagi saya dan keluarga merasa kurang enak didengar," lanjut pria kelahiran Pangkalan Brandan, Sumut ini.

Menurut dia, terjadinya penumpasan partai PKI pada saat itu merupakan salah satu perjuangan Indonesia yang dilakukan kelompok pemuda yang merasa terusik dengan keberadaan PKI yang saat itu membunuh tujuh petinggi Angkatan Darat. "Kami berjuang pada waktu itu, karena PKI mengancam keutuhan negara," tegasnya. (umi)

29 Pati TNI Naik Pangkat Satu Tingkat Lebih Tinggi, Ini Daftar Namanya
OIKN saat diskusi pengembangan ekosistem start up

Otorita IKN Dukung Pengembangan Ekosistem Startup di IKN

Pembentukan ekosistem startup dan UMKM sangat penting dalam mencapai target Indonesia Emas 2045

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024