Korban Westerling Beri Waktu 3 Minggu

Monumen pembantaian Westerling 2
Sumber :
  • Rahmat Zeena| Makassar

VIVAnews - Sepucuk surat tiba di meja Menteri Luar Negeri Belanda, Uri Rosenthal. Pengirimnya 10 anggota keluarga korban pembantaian di Sulawesi Selatan pada tahun 1947.

Selain kompensasi, para keluarga korban juga menuntut maaf dari Belanda atas kekejaman pasukan Depot Speciale Troepen yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling.

"Tuntutannya bertanggung jawab meminta kehormatan kembali dan ganti rugi. Dalam surat itu kami ceritakan bahwa mereka punya ayah, anak dieksekusi begitu saja, dan Westerling ini mendapatkan mandat dari pemerintah Belanda," kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, KUKB, yang mendampingi keluarga korban di Belanda, Jeffry Pondakh seperti dimuat BBC, Selasa petang.

Pemerintah Belanda, dia menambahkan dianggap ikut bertanggung jawab atas kekejaman itu. Keluarga korban memberi waktu tiga minggu. "Kami harap pemerintah Belanda mau berbicara dengan kami dan jangan sampai ke Pengadilan. Dan dalam tiga minggu diselesaikan secepat mungkin karena para janda itu sudah berusia lanjut," tambah Jeffry.

Dalam surat yang ditulis pengacara HAM, Liesbeth Zegveld disebutkan, para korban dibunuh dalam serangkaian pembantaian di desa-desa. Salah satunya di Desa Galung Lombok pada 1 Februari 1947, disebutkan pasukan Belanda masuk ke desa pagi hari, memerintahkan warga meninggalkan rumah sebelum membakarnya. Sebanyak 364 nyawa melayang kala itu.

Asia Sitti, putri dari sesepuh desa menyaksikan pembantaian itu. "Sitti saat itu berusia 12 tahun ketika ayahnya ditembak mati di hadapannya," kata Zegveld.

Di desa lain, Bulukumba, diduga ada 250 orang lelaki dieksekusi pada Januari 1947. Beberapa ditembak ketika berusaha melarikan diri di persawahan, yang lainnya ditembak di depan lubang yang sudah mereka gali.

"Orang-orang itu ditembak dari belakang sehingga mereka langsung terjatuh ke lubang," demikian isi surat itu. "Sebagian besar korban adalah petani atau nelayan.

KKB Kembali Berulah, Serang Gereja dan Rampas Barang Jemaat di Pegunungan Bintang

Dipetieskan

Kasus kekejaman Westerling bukannya tak tercium oleh Pemerintah Belanda. Dilaporkan Radio Nederland, negeri itu telah membentuk komisi penyidik khusus. Namun, diam-diam, pada 1954 kabinet memutuskan tidak akan mengusutnya lebih lanjut.

Hingga saat ini laporan komisi tersebut masih tergolong dokumen "sangat rahasia". Namun harian Belanda, De Volkskrant, berhasil mendapatkan bocoran dokumen yang disusun pejabat tinggi dari kalangan militer, kehakiman dan pemerintahan itu.

Laporan memuat fakta pembunuhan sekitar 3.000 warga, selama tiga bulan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pimpinan Kapten Raymond Westerling, di Sulawesi Selatan, pada akhir tahun 1946. Atasan langsungnya memberi Kapten Westerling wewenang menghukum mati para "perampok" dan pengacau lainnya.

Banyak kasus pembunuhan dilaksanakan setelah serdadu Kapten Westerling menyelenggarakan apa yang mereka sebut sebagai "pengadilan kilat". Laporan memuat fakta pembunuhan lebih dari 300 warga suatu desa, dalam satu hari.

Dalam dokumen ini tidak ada penjelasan alasan kabinet pimpinan Perdana Menteri Willem Drees (partai sosial demokrat, PvdA), pada tahun 1954 memutuskan tidak akan memperkarakan pelanggaran berat ini.

Dalam salah satu lembaran laporan terdapat tulisan tangan seorang pejabat pemerintah, yang menyatakan bahwa "tindakan beberapa perwira militer memang sangat keterlaluan". Namun, pada goresan selanjutnya tertulis "tidak ada gunanya mengungkit masa lalu".

Mengenal Mepamit, Tradisi Pamitan dalam Prosesi Adat Bali yang Dilakukan Mahalini dan Rizky Febian

Bukti harus kuat

Terkait tuntutan ini, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, belajar dari kasus Rawagede, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan.

"Bahwa kompensasi mungkin dilakukan namun tidak mungkin mengadili peristiwa di masa lampau," kata dia kepada VIVAnews.com, Selasa 8 Mei 2012 malam. Pelaku yang masih hidup tak mungkin diseret ke meja hijau.

Pihak yang mengajukan, dia menambahkan, harus korban yang masih hidup, suami atau istri korban. "Anak, kerabat, dan sebagainya tidak bisa mewakili," tambah dia.

Dan yang terpenting adalah bukti. "Harus ada dokumen bahwa memang terjadi apa yang disebut kekejaman dan pelanggaran terhadap hukum."

Hikmahanto menambahkan, kasus Rawagede adalah terobosan, bahwa individu bisa mengajukan gugatan di masa lalu pada sebuah negara. "Selama ini yang terjadi dilakukan negara dengan negara, misalnya Indonesia-Jepang dengan pampasan perang, dengan Belanda berupa bantuan pinjaman lunak," kata dia.

Jalani Rangkaian Pernikahan, Mahalini Raharja Minta Izin Keluarga untuk Hidup Bareng Rizky Febian
Ganda putra Indonesia, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto

Final Thomas Cup Membara! China Gandakan Kedudukan Atas Indonesia Usai Fajar/Rian Tumbang

Final Thomas Cup 2024 berlangsung membara. China sementara unggul 2-0 atas Indonesia dalam duel yang digelar di Chengdu Hi Tech Zone Sports Center Gymnasium, Chengdu.

img_title
VIVA.co.id
5 Mei 2024