Aris Merdeka Sirait

Mewaspadai Perdagangan Manusia

VIVAnews - Pada 6 Juni 2008, seorang siswi SMP Lampung, sebut saja Susan, diculik lima laki-laki. Para penculik menggunakan topeng saat beraksi. Susan lalu dibius dan dibawa ke Jakarta.

Dua hari kemudian, Susan dan tiga orang perempuan korban lainnya dari Jawa Barat, yakni Helmi, Ana dan Bunda, dibawa ke Tebedu, Malaysia. Anehnya, tanpa menggunakan paspor, mereka bisa lolos. Para korban lantas dibawa ke Kuching lalu dipekerjakan sebagai pekerja seks secara paksa di suatu tempat bernama Cong Ling Pa.

Meski Dilarang AS dan Barat, Israel 'Keukeuh' Akan Tetap Kembali Serang Iran

Melihat kasus di atas, modus perdagangan manusia memang mulai beralih dari modus lama yakni bujuk rayu, janji-janji perbaikan hidup atau keluar dari kemiskinan dengan modus dijadikan tenaga kerja di luar negeri. Kekerasan, dengan cara penculikan kini jadi cara baru. Peran para broker kampung yang mengorganisasi anak-anak dengan iming-iming, digantikan peran sindikat yang menyebar orang, mencari kesempatan menculik anak.

Modus yang baru ini sangat menakutkan. Dengan cara menculik, membius --bila perlu dengan kekerasan--  modus ini tidak hanya menyasar anak dan remaja dari kalangan miskin. Modus ini tidak mengenal latar belakang. Pokoknya asal ada kesempatan, pelajar SMP atau SMA diambil. Para korban juga diambil secara membabi buta.

Misalnya kasus Lampung. Penculikan justru terjadi pada saat korban berangkat ke sekolah. Saat menunggu bus korban tiba-tiba dibius. Dengan begitu cepat, korban sampai ke Pontianak, Kalimantan Barat. Sampai di perbatasan, mereka lalu dijual dan bahkan dipekerjakan sebagai budak seks.



Untuk menghindari penculikan, ada prosesnya. Untuk anak-anak dan remaja, sangat disarankan untuk tidak gampang percaya pada orang yang baru dikenal. Mereka harus berani menolak bujuk rayu. Berangkat atau pulang sekolah juga jangan sendiri-sendiri, harus berombongan. Disamping itu, orang tua harus lebih memperhatikan anaknya. Demikian juga sekolah, harus lebih berperan, membuat zona penjemputan anak atau mengadakan simulasi.


Di negara-negara lain, misalnya Jepang, simulasi penculikan sudah diberikan pada anak-anak secara massal. Hasilnya, anak-anak lebih waspada. Kejahatan penculikan juga jadi masalah yang dihadapi bersama.

Sebenarnya, Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak sudah mulai melakukan simulasi. Tapi anehnya, lantas seolah-olah simulasi itu jadi tanggung jawab Komnas. Inilah aneh dan uniknya negeri ini. Padahal Komnas Anak tidak bisa mengerjakannya sendiri untuk seluruh Indonesia. Seharusnya itu jadi agenda pemerintah. Komnas  sudah memberi usulan, namun usulan ini tak direspon.

Permasalahannya selalu sama: tidak ada departemen yang merasa bertanggungjawab. Akibatnya terjadi saling lempar. Itu akibatnya kalau tidak ada Kementerian Perlindungan Anak. Agaknya, pemerintah perlu membentuk kementerian yang khusus melindungi anak, supaya tidak saling lempar tanggungjawab.

Ketika kasus di Lampung terjadi, semua lepas tangan. Departemen Tenaga Kerja bilang itu urusan Departemen Sosial. Tapi Departemen Sosial mengatakan itu bukan urusannya. Lalu siapa lagi yang bisa memberi perlindungan kalau bukan negara? Jelas tidak bisa semuanya dibebankan pada orang tua untuk mengawasi. Mereka tak akan mampu melakukannya sendirian.

Itu baru masalah pencegahan. Belum lagi penanganan korban. Para korban harus dikembalikan semangatnya, traumanya harus dihilangkan. Lagi-lagi, Komnas Anak yang harus menanganinya. Masalahnya, kemampuan kami terbatas.



Modus baru penculikan anak dengan kekerasan kini menjadi tantangan pihak kepolisian. Polisi harus membongkar sindikat-sindikat perdagangan manusia yang mengorbankan anak-anak dan remaja yang tak berdosa.
Polisi juga harus menempatkan kasus ini sebagai prioritas. Ingat berapa banyak masa depan anak-anak dan remaja yang terancam hancur. Keluarga juga akan didera rasa bersalah sekaligus menghadapi penghakiman masyarakat.

Betapa hancur hati orang tua yang dituduh tak bisa menjaga anak sendiri. Padahal, anak maupun keluarganya adalah korban.

Penegakan hukum harus ditegakan. Selain menghukum berat para pelaku, usut juga petugas imigrasi. Anak-anak diselundupkan ke luar negeri, di jual tanpa dokumen, tapi kenapa bisa lolos?
Meski secara administrasi sudah dipalsu sedemikian rupa, sekalipun ada bantuan dari aparat desa, kalau di perbatasan ketat, tak mungkin akan lolos.

Maka, harus ada efek jera bagi petugas yang nakal. Tangkap saja petugas imigrasi yang meloloskan praktek penjualan manusia. Sebaliknya, hukum juga polisi yang mendiamkan praktek tersebut. Untuk efek jera, pecat juga pimpinan imigrasi maupun polisi yang kebobolan kasus seperti ini.



Selama ini polisi mengatakan bahwa kasus di Lampung menggunakan modus baru. Saya pikir ini tidak benar-benar baru. Menurut kesaksian korban, Susan, di tempat pelacuran, Cong Ling Pa masih banyak anak-anak korban seperti mereka, tanpa dokumen apapun. Di antaranya, bahkan diculik dengan modus yang sama dengan yang dialami Susan. Bedanya Susan dan tiga temannya punya tekad dan keberanian untuk melarikan diri.

Perdagangan manusia dengan modus penculikan memang baru diketahui. Tapi saya yakin sudah banyak korbannya. Semua pihak harus sadar dan dibukakan matanya, anak dan remaja saat ini terancam perdagangan manusia dengan cara apa pun. Semakin lama, angka perdagangan manusia makin banyak. Semua pihak harus waspada.

Disarikan dari wawancara Aris Merdeka Sirait, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Ilustrasi Matahari

5 Negara Tanpa Malam, Matahari Hampir Tidak Pernah Terbenam

Sebagian besar negara di dunia mengalami siklus siang dan malam, tetapi ada negara-negara di mana fenomena matahari tengah malam terjadi, yang artinya matahari terus ada

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024