- Wima Saraswati/VIVAnews
SURABAYA POST - Kasus kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medik cukup banyak. Tercatat sejak tahun 2006 hingga sekarang ada 50 kasus kelalaian tindakan medik yang sudah disidangkan di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
“Dari jumlah itu kasus terbanyak terjadi di bagian tindakan bedah dan anestesi,” ungkap Ketua Pengurus Pusat (PP) Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia (PABI), Prof Dr Paul Tahalele dr SpB SpBTKV.
Ia menjelaskan, dari 50 kasus yang disidangkan ada sudah sejumlah dokter yang dicabut Surat Izin Praktik (SIP)-nya oleh MKDKI. Namun ia tidak menyebutkan siapa dokter yang sudah dicabut SIP-nya.
Menurut Paul, pencabutan SIP merupakan pukulan telak bagi seorang dokter. Pasalnya, dokter tidak diizinkan berpraktik tanpa mengantongi SIP. “Kalau tidak bisa berpraktik dia tidak akan bisa bekerja sebagai seorang dokter,” katanya.
Tindakan ini mengacu pada UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Di mana seluruh dokter harus mengikuti standar yang ada secara profesional. Kelalaian dalam melakukan tindakan juga langsung dikenai sanksi tegas.
Namun, kalau MKDKI melihat kasus kelalain itu ada unsur kuat aspek kriminalnya maka akan diserahkan ke aparat kepolisian.
Dari 50 kasus yang disidangkan MKDKI, tidak satu pun kasus yang terjadi di RSUD dr Soetomo. Kepala Instalasi Rawat Darurat RSUD dr Soetomo, dr Urip Murtedjo SpB-KL mengklaim belum pernah ada masalah kelalaian tindakan selama ia menjabat Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan rumah sakit milik Pemprov Jatim tersebut. Begitu pula saat posisi itu dijabat dr Yoga Wijayahadi SpB-KL sekarang.
Urip mengatakan, kasus yang muncul terkait pelayanan medik di RSUD dr Soetomo kebanyakan karena miskomunikasi. Semua masalah tersebut juga sudah bisa diselesaikan dengan membenahi komunikasi antara pihak rumah sakit, dokter dan pasien.
Miskomunikasi
Paul menjelaskan, penyebab utama kelalaian tersebut karena miskomunikasi antara dokter dengan pasien. Miskomunikasi itu bisa karena dokter tidak memberikan informasi lengkap tentang kondisi pasien atau salah dalam memberikan informasi.
Namun bisa juga karena adanya salah persepsi antara pasien dan dokter. “Itulah mengapa dokter harus memperbaiki komunikasi dengan pasien. Jika komunikasi baik dan lancar, tidak akan terjadi masalah,” katanya.
Dikatakan, tindakan apa pun, terutama yang berkaitan dengan pembedahan, harus disertai inform consent yang ditandatangani keluarga pasien. Dengan menandatangani inform consent, pihak keluarga tahu dan setuju apa saja tindakan yang dilakukan dokter terhadap pasien.
Guna mencegah terulangnya kasus salah medik ini, PABI menggelar Kongres Nasional III PABI di JW Marriott Hotel Surabaya, 26-29 Mei mendatang.
Harapannya, dengan materi ini diangkat agar para dokter lebih hati-hati dalam melakukan tindakan. Semua tindakan juga harus sesuai Standard Operational Procedure (SOP) yang berlaku internasional.
“Melalui pemberian materi tersebut, para dokter bisa tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi masalah. Mereka juga harus didampingi pengacara kalau ada masalah hukum,” kata Paul.
Laporan: Reny Mardiningsih