ARIEF JUNIANTO

Kampung Surabayan Dulu dan Kini

SORE itu masih begitu terik. Sinar matahari masih perkasa menciptakan bayang lamur ke arah timur. Begitu pula di kampung ini. Surabayan. Kampung di kawasan Kedung Sari itu seperti pada sore-sore sebelumnya, riuh oleh lalu lalang warga atau sekadar orang yang kebetulan sedang lewat.

5 Negara dengan Perusahaan Domestik Terbanyak di Dunia, Cina Paling Unggul

Meski sudah jarang berdiri bangunan-bangunan dengan arsitektur kuno dan sudah didominasi bangunan kampung modern, rumah-rumah di sana berpetak-petak dengan ukuran yang tak begitu luas. Kondisi itu seakan-akan menerjemahkan bahwa kampung itu memang tidak mementingkan keadaan bangunan per bangunan, tetapi lebih mengutamakan jumlah penghuni.

Penumpang Mobil Berpelat F Ini Dicari Netizen hingga Dikecam Ridwan Kamil

Kondisinya yang cukup kumuh itu adalah potret nyata dari sesuatu yang wajar, khas, dan membudaya sebagai kampung. Kumuh merupakan kata kunci jika mencoba mencari pengertian kampung di Surabaya.

Memanas, Ini Perbandingan Kekuatan Militer Iran dan Israel, Siapa yang Paling Unggul?

Tapi, siapa yang menyangka jika kampung itu adalah salah satu kampung tertua di Surabaya. Nama yang sama, bisa jadi itu alasan kenapa kampung ini kemudian dikatakan sebagai kampung tertua di Surabaya.

Budayawan Surabaya yang juga penulis buku Masuk Kampung Keluar Kampung (2008), Akhudiat berpendapat lain. Dikatakannya, Surabayan merupakan kampung pertama di Surabaya setelah dilihatnya sebuah perjanjian yang dalam ilmu sejarah biasa disebut Ferry Charter atau Perjanjian Penyeberangan.

Perjanjian ini pada dasarnya merupakan sebuah kisah yang termaktub dalam Kitab Negarakretagama karya Suttasoma. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa Raja Majapahit menyinggahi setidaknya 40 desa di sekitar sungai Brantas dan Bengawan Solo.

Dari 40 desa itu, beberapa di antaranya adalah Desa Surabayan, Bungkul, dan Jambangan. Saat itu Surabaya berada dalam kondisi yang  sangat jauh berbeda dengan sekarang.

Jangankan dibandingkan dengan sekarang, saat itu Surabaya masih berupa kumpulan pulau-pulau kecil yang masing-masing memiliki sebuah kota utama yang sekaligus merupakan pelabuhan dan pintu masuk ke pulau tersebut.

Sedangkan Surabayan sendiri pada mulanya adalah sebuah kota penting dalam pemerintahan Majapahit. Betapa tidak, dalam Negarakretagama disebutkan bahwa Surabayan disebut sebagai salah satu dari kota pelabuhan yang cukup sibuk. Bahkan, secara keseluruhan, Wonokromo merupakan kawasan pelabuhan utama bagi Surabaya.

Ini dibenarkan oleh Autar Abdillah. Menurut seniman yang tesisnya mengambil tema Budaya Arek Surabaya (2007) ini, di abad ke-4, yang namanya Surabaya hanya merupakan beberapa pulau kecil di sisi sebelah timur. Pulau-pulau itu di antaranya adalah Bagong, Bungkul, Gunungsari, dan beberapa pulau kecil yang kini menjadi kampung-kampung di kawasan sekitar sungai Brantas, seperti Rungkut, Prapen, dan Ngasem.

Bahkan saat itu, menurut Autar, Pulau Wonosrama, yang kemudian kini menjadi kampung Pulo Wonokromo, diakui Autar, merupakan kawasan pelabuhan yang sangat sibuk. ”Kawasan ini memang seolah menjadi pintu masuk ke pulau-pulau yang lebih dalam,” ujar staf pengajar drama di Sendratasik Universitas Surabaya (Unesa) ini.

”Hingga pada akhirnya muncul kampung Ampel Dento,” sela Akhudiat kemudian.

Abad ke-14 memang ditandai dengan munculnya sebuah kampung Arab di kawasan Ampel. Keadaan saat itu, Surabaya sudah tidak lagi terpencar-pencar menjadi  pulau-pulau kecil, melainkan sudah menyatu dengan dilakukannya proses reklamasi oleh beberapa warga.

Selepas itu, barulah kawasan utara menjadi sangat sibuk. Betapa tidak, kawasan utara yang merupakan kawasan pesisir menjadi pusat aktivitas manusia dari berbagai tempat. Akibatnya, kawasan ini menjadi begitu plural. Begitu beranekanya hingga pada masa koloni, sempat terjadi perbedaan hukum publik menjadi 3, yakni hukum Eropa, Timur Asing, Pribumi.

Hukum Eropa merupakan hukum yang berlaku bagi warga berkebangsaan Belanda, Inggris, dan juga beberapa warga Eropa. Hukum Timur Asing diperuntukkan pada masyarakat berkebangsaan Arab, Cina, dan beberapa masyarakat yang berasal dari Asia. Terakhir, hukum yang diperuntukkan bagi pribumi, bagi masyarakat asli.

Saat itu, secara administratif, pemerintah kolonial memang setidaknya membagi Surabaya menjadi dua wilayah besar, yakni Kota Atas dan Kota Bawah.

Kota Atas yang berada jauh dari pesisir bisa dibilang merupakan kawasa elite tempat pusat peradaban bagi kaum-kaum borjuis. Kawasan yang saat itu meliputi daerah Darmo, Simpang, dan sekitarnya itu memang merupakan kawasan pemukiman yang banyak dihuni warga Eropa.

Sedangkan Kota Bawah merupakan kawasan yang setiap harinya selalu sibuk. Kawasan yang dipecah oleh Sungai Kalimas menjadi dua wilayah besar ini merupakan kawasan pusat perdagangan yang bisa dibilang merupakan urat nadi Surabaya.

Setidaknya memasuki abad ke-18, kurang lebih tahun 1900, saat Jembatan Petekan dibangun, pengaturan kota bawah ini sudah demikian rapi. Di antaranya adalah dikelompokkannya kawasan yang dihuni masyarakat yang sejenis atau serumpun.

Misalnya di sisi barat Sungai Kalimas, khususnya di kawasan Kalongan, Gatotan, Krembangan, merupakan hunian masyarakat Eropa, atau setidaknya masyarakat-masyarakat Indo-Belanda.

Sedangkan di sisi timur sungai Kalimas, yakni di kawasan yang sekarang dikenal dengan Jl Karet dan sekitarnya merupakan pusat hunian masyarakat-masyarakat beretnis Tionghoa. Agak ke barat, tepatnya di kawasan Ampel, yang saat itu sudah semakin berkembang dari sekadar kampung Ampel Gentho, semakin banyak warga beretnis Arab berkumpul dan beranak pinak di kawasan itu.

”Jadi memang, waktu itu cukup dekat kawasan China dan Arab,” sela Akhudiat lagi.

Barulah di sisi timur Sungai Kalimas, tepatnya di sisi sebelah utara kampung pecinan, merupakan tempat kumuh yang dihuni masyarakat pribumi.

Memang, pembagian-pembagian ini, dikatakan oleh Akhudiat, cukup tegas. Hukum yang dijalankan pemerintah kolonial waktu itu memang cukup tegas. ”Pernah sekali waktu ada warga China yang kemalaman di kawasan Krembangan. Dia menginap di sana. Ga pake lama, langsung ditangkap dia,” terang Akhudiat dengan gaya bicaranya yang khas.

Baru inilah mulai muncul pengertian kampung. Waktu itu ciri khas kampung yang paling mudah dikenali adalah kumuh dan letaknya yang memang menjorok ke dalam. ”Jauh dari straat,” Akhudiat mengistilahkan.

Straat merupakan sebutan bagi jalan besar, jalan raya, atau jalan utama yang memang waktu itu pembangunannya lebih diutamakan pada kawasan-kawasan yang kerap dilalui masyarakat Eropa, yang menjalankan roda kehidupan Surabaya.

Ternyata apa yang dijelaskan Akhudiat tersebut memang benar-benar ada hingga sekarang. Buktinya kampung-kampung asli yang memang pantas disebut sebagai kampung, letaknya pasti berada tidak dekat dengan jalan-jalan besar.

Selain itu, egalitarian masyarakat kampung pun dari masa pra koloni pun sudah demikian tampak. Misalnya dengan kebiasaan main ceki (suatu permainan cara China seperti pei, bongkin) dan misuh (mengumpat).

Ini wajar mengingat hampir di setiap kampung terdapat gardu atau yang sekarang kerap disebut dengan pos satpam, merupakan pusat sosialisasi serta transformasi berbagai informasi antar masyarakat. ”Sehingga sebagai pengisi waktu pun mereka kemudian main ceki di sana,” ujar Akhudiat.

Belum lagi, kebiasaan masyarakat kampung yang tidak bisa dihindari adalah mendem (minum minuman keras). Puncaknya, kegiatan ini adalah ketika ada salah satu warga yang punya hajat, baik itu perkawinan, maupun khitanan, minuman keras menjadi suguhan wajib. Uniknya tidak hanya menjadi suguhan bagi para undangan, melainkan juga dijual di sekitar rumah yang punya hajat, lengkap dengan tambulnya (makanan pelengkap saat minum minuman keras).

Tidak hanya itu, masih ada ciri khas lain yang memang sangat menonjol dari kampung-kampung asli di di Surabaya adalah adanya pagupon (kandang burung dara). Menurut Akhudiat, pagupon ini merupakan bukti dari kegemaran warga kampung Surabaya untuk ando’an doro, istilah untuk aktivitas yang biasa disebut dengan adu merpati.

Kini meski modernisasi telah merambah dan mengubah Surabaya menjadi kota metropolis, namun kenyataannya, jika memasuki kampung-kampung tersebut, misalnya, kampung Peneleh, Bubutan, Wonokromo, Jambangan, hingga timur seperti kampung Sidotopo, Bulak, hingga terus ke timur ke kawasan kampung nelayan Nambangan, nuansa kampung setidaknya sedikit masih terasa.

Letaknya yang jauh dari jalan besar dan beberapa ciri khas lain seperti selalu ditemukannya gardu dan pagupon pun menjadi bukti bahwa akar tradisi dan kebiasaan warga kampung Surabaya yang egaliter dan apa adanya memang masih dipegang dan dijalankan, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Kini, kampung-kampung yang ada di Surabaya, sudah terdistorsi oleh masuknya modernisasi yang semakin merajalela. Lalu, apakah lokalitas khas kampung sebagai identitas kota ini akan terus luntur. Akhirnya satu per satu kampung di Surabaya akan lenyap dan berubah menjadi kawasan yang di tahun 1930-an dikenal sebagai kota atas. Sebuah kawasan elite yang sama sekali tidak bernafaskan egalitarian sebagai identitas asli masyarakat Surabaya.

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya