Akhirnya, Pemimpin Tertinggi NU Dipilih Melalui Musyawarah

Jokowi Kenakan Sarung Merah saat Buka Muktamar NU
Sumber :
  • VIVA.co.id/Tudji Martudji
VIVA.co.id - Rais Aam atau pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama (NU) akan dipilih melalui metode musyawarah para kiai senior atau yang disebut ahlul halli wal aqdi (AHWA) dalam Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur.
NU: Potensi Konflik Tanjungbalai Sudah Lama, Telat Dicegah

Metode itu ditetapkan melalui pemungutan suara atau voting para peserta Muktamar pada Selasa malam, 4 Agustus 2015. Sebanyak 252 peserta memilih ahwa, sementara 235 suara menolak, dan 9 abstain.
Kisah Santri Surabaya Melawan Penjajah lewat Lagu

Namun metode ini masih akan disahkan dalam sidang pleno yang diagendakan digelar pada Rabu pagi, 5 Agustus 2015.
NU: Kemiskinan Mendekatkan pada Organisasi seperti Gafatar

"Besok hasilnya dibawa ke pleno. Pleno besok itu hanya menyetujui, karena sudah dibahas di tingkatan Syuriah," kata Rais Syuriah NU Pasawaran, KH Ma'shum Abrory.

Ihwal metode pemilihan Rais Aam menjadi masalah krusial dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang. Sebagian peserta menginginkan metode AHWA yang terdiri dari para kiai senior terpilih. Sebagian yang lain menghendaki pemilihan melalui pemungutan suara secara terbuka oleh seluruh peserta muktamar.

Kalangan yang mendukung metode AHWA berargumentasi bahwa Rais Aam adalah posisi paling tinggi dan menentukan arah kebijakan NU. Posisi itu membawahi ketua umum sebagai eksekutif atau tanfidziyah dalam struktur organisasi NU. Maka, Rais Aam harus ditentukan oleh para kiai senior atau kiai khos yang dianggap memiliki kapasitas keilmuan mendalam.

Sementara kalangan pendukung pemilihan langsung berpendapat, Rais Aam memerlukan legitimasi yang kokoh. Maka, dia harus didukung dan dipilih langsung oleh para pimpinan daerah NU dari tingkat kabupaten/kota dan provinsi se-Indonesia.

Metode AHWA pun dinilai tak sesuai dengan napas atau semangat NU. Lagi pula, sejak NU didirikan pada 1926, Rais Aam selalu dipilih secara langsung oleh para peserta muktamar. Metode AHWA hanya dipakai sekali dalam Muktamar di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Itu pun karena dalam kondisi sangat genting di bawah tekanan rezim penguasa Orde Baru.

Kala itu, ada situasi kondisi darurat berupa keterpecahan dua kubu NU antara kubu Cipete dan kubu Situbondo. Lalu, muncul inisiatif dari KH Asad Syamsul Arifin yang mengajukan enam nama kiai senior yang menentukan Rais Aam dan ketua umum Tanfidziyah, yaitu KH Ahmad Sidiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kandidat

Sejumlah nama yang muncul untuk posisi pimpinan NU dalam muktamar ini, di antaranya, KH Said Aqil Siroj (incumbent), KH Salahuddin Wahid, As'ad Said Ali, dan M Adnan. Mereka digadang-gadang untuk kandidat Ketua Umum Tanfidziyah NU.

Sementara itu, untuk kandidat Rais Aam, muncul nama KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (Penjabat Sementara Rais Am), KH Hasyim Muzadi dan KH M Thalhah Hasan.

(mus)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya