PAN dan Demokrat Surabaya Dinilai Korban Malapraktik Politik

PAN dan Demokrat Surabaya Dinilai Korban Malapraktik Politik
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Zumrotul Abidin
VIVA.co.id – Ketua Tim Kerja Koalisi Majapahit, AH Thony, mengaku miris dengan kondisi politik di Pilkada Surabaya 2015.
Risma: Jerman Sumbang Rp1,5 Triliun untuk Bangun Trem

Gagalnya proses pendaftaran pasangan calon Dhimam Abror-Haris Purwoko dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat merupakan bentuk desain malapraktik atau rekayasa politik.  
Ahok Sewot Jakarta Disebut Berantakan Dibanding Surabaya
 
Dia mengatakan bahwa fenomena barter politik yang mengemuka dalam pilkada di beberapa daerah di Jawa Timur merupakan rekayasa elite politik nasional. Partai-partai di daerah menjadi korban malapraktik politik.
Siswa SD Menangis Agar Risma Tak Jadi Calon Gubernur Jakarta
 
“Saya prihatin, mengapa harus ada istilah barter politik. Yang ini jelas mengerdilkan nilai-nilai demokrasi,” ujar Thony di Surabaya pada Senin, 3 Agustus 2015.
 
Sebagai bagian dari Koalisi Majapahit yang terdiri dari enam parpol, yakni Gerindra, Golkar, PKS, PKB, Demokrat dan PAN, dia cukup tahu kronologi hingga Pilkada Surabaya menjadi seperti sekarang.

Sebab, tanda-tandanya sejak PAN dan Demokrat sulit diajak komunikasi untuk melakukan seleksi bersama calon yang telah dijaring di koalisi.
 
“Karena sebelumnya komunikasi enam parpol ini sangat baik di Surabaya. Tiba-tiba begitu cepat dua partai itu menjauh dan puncaknya mau mencalonkan ini,” kata Sekretaris Partai Gerindra Surabaya itu.
 
Kata Thony, kabar kuat kemudian juga beredar bahwa ada desain yang menggunakan istilah barter antara Pilkada Pacitan dan Surabaya.

Di Pacitan karena hanya ada satu pasangan petahana dari Demokrat, maka PDIP harus memunculkan calon agar pilkada bisa digelar dan memenangkan petahana. Sebaliknya, di Surabaya, pasangan calon hanya petahana dari PDIP, maka Demokrat harus mengajukan calon untuk memuluskan petahananya.
 
“Entah maksudnya apa, tiba-tiba PDIP Pacitan tidak memunculkan calon. Lalu, pasangan Dhimam-Haris yang diusung PAN-Demokrat juga ikut mundur di tengah proses, karena wakilnya menghilang,” tuturnya.
 
Thony menilai itu bagian dari rekayasa elite politik nasional. Sebab sebenarnya regulasi dalam pilkada serentak dibuat untuk dilaksanakan. Namun saat terlihat nantinya merugikan, aturan itu berusaha diubah dengan terlebih dahulu memunculkan rekayasa politik.
 
“Maka dari itu, saya menyebut PAN dan Demokrat di Surabaya hanya jadi korban malapraktik politik,” ujar Thony.
 
Ketika ditanya alasan Koalisi Majapahit tidak ikut mendaftarkan calon di Pilkada Surabaya, dia menjawab bahwa koalisi itu memiliki banyak kelemahan. Maka butuh kekuatan bersama untuk melawan petahana yang nyata-nyata secara fakta politik sudah kuat.
 
“Dari kursi saja kami tidak cukup. Lalu, rekomendasi dari DPP masing-masing parpol, kami belum mendapatkan. Itu semua masih bisa dikomunikasikan dengan baik, kami kerja bersama. Jika kuat maka kami akan mampu menghasilkan calon yang kuat,” ujar Thony. (ase)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya