Jawara Banten Laporkan Adik Gubernur Ratu Atut ke KPK

Ratu Atut Chosiyah
Sumber :
  • VIVAnews/Adri Irianto

VIVAnews - Jaringan Warga Untuk Reformasi (Jawara) Banten melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan Tubagus Chaery Wardana, adik Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin 7 Oktober 2013.

Cekcok Hebat dan Bergumul di Kamar, Suami Sadis Ini Tega Bunuh Istri Pakai Obeng

Chaery Wardana ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penyelesaian sengketa pilkada Kabupaten Lebak Banten. Koordinator Jawara Banten, Uday Suhada, mengatakan, Tubagus Chaery atau yang akrab disapa Wawan diduga tidak hanya terlibat suap sengketa pilkada Lebak tahun 2013, dia juga diduga terlibat aktif dalam penyusunan dan pelaksanaan skema pembangunan di daerah Banten.

Hal itu terkonfirmasi dengan surat permintaan pencegahan ke luar negeri atas nama Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah selama enam bulan ke depan. Dalam surat KPK yang ditujukan ke Ditjen Imigrasi itu tertulis, pencegahan terhadap Atut terkait kasus korupsi pilkada periode 2011-2013.

"Artinya tidak hanya menyangkut persoalan suap di Lebak dan Tangerang. Tapi justru terjadi korupsi yang lebih besar pada 2011, yakni penggelontoran dana hibah Rp340 miliar dan bansos Rp60 miliar oleh Atut pada 221 lembaga. Itu sudah kAMI laporkan pada Agustus 2011," kata Uday Suhada di Gedung KPK, Jakarta.

Menurut Uday, Wawan dikenal sebagai pengusaha biasa. Ia bersama keluarga besarnya memiliki Hotel Ratu Bidakara di Jalan KH Abdul Hadi No68 Kota Serang, Radio Bahana Banten, SPBU di Kota Serang dan Tembong Waterboom di Kota Serang.

Selain itu, Wawan juga disebut ikut berperan dalam pengaturan proyek pembangunan dengan menggunakan APBD Provinsi Banten. Perusahaannya kerap mengerjakan proyek-proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah di Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan.

"Jadi siapapun yang melakukan proyek pembangunan di Banten, itu harus melalui dia. Karenanya, dia adalah kunci utama kehidupan Atut," ujarnya.

Uday menambahkan, pihaknya siap membantu KPK dalam mengusut kasus korupsi di Provinsi Banten. Terutama jika KPK membutuhkan data tambahan untuk mempercepat penuntasan kasus ini. "Harapannya melalui TCW ini, KPK mau dan berani mengungkap persoalan korupsi yang jauh lebih besar dari suap Akil Mochtar," katanya.

Sebelumnya, pengacara Tubagus Chaery, Efran Helmi Juni membantah kliennya terlibat dalam kasus suap Ketua MK, Akil Mochtar. Menurut Efran, uang Rp1 miliar yang disita KPK dari rumah Susi Tur Andayani merupakan honor pengacara.
"Itu lawyer fee yang dibayar Pak Wawan ke Ibu Susi," kata Efran di Gedung KPK.

Meski begitu lanjut Efran, pihaknya masih mendalami sangkaan KPK terhadap kliennya yang diduga sebagai penyuap Ketua MK, Akil Mochtar dalam penyelesaian sengketa pilkada Kabupaten Lebak. Sejauh ini kata dia, kliennya menyatakan, uang tersebut merupakan honor pengacara.

"Kalau kemudian dari Susi ada apa dengan MK kami tidak tahu, atau dengan Pak Akil kami tidak tahu. Nanti Pak Wawan akan terbuka ke KPK, karena alasan dan buktinya ada, termasuk soal penerimaan itu," terangnya.

Pengacara juga membantah Ratu Atut Chosiyah terlibat dalam kasus tersebut. Pihaknya juga membantah uang Rp1 miliar yang diserahkan Wawan kepada Susi Tur Andayani berasal dari Ratu Atut Chosiyah.

"Oh itu tidak benar, sama sekali tidak benar. Bu Atut sama sekali tidak terlibat dan mengetahui masalah ini," ujar Pengacara Wawan lainnya, Tubagus Sukatma.

Desak Ratu Atut diperiksa KPK

Sebelumnya, puluhan mahasiswa Banten melakukan unjuk rasa di depan Gedung KPK. Mereka meminta agar KPK tidak hanya mengusut korupsi yang melibatkan Tubagus Chaery Wardana, tapi juga secepatnya mengusut dugaan korupsi yang dilakukan kakak kandung Tubagus Chaery, Ratu Atut Chosiyah. "Rekam jejak dugaan korupsinya dan penyelewengan anggaran tak kalah hebat," ujar koordinator aksi, Kahfi Nusantara.

Mahasiswa memaparkan sejumlah indikasi korupsi yang diduga dilakukan Atut selama menjabat sebagai Gubernur Banten. Pada 2011, Kejaksaan Tinggi Banten membidik Atut dan pejabatnya atas dugaan penyelewengan APBD 2007-2010.

Hal ini berdasarkan adanya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan kerugian negara hampir Rp1 triliun. Temuan tersebut antara lain indikasi kerugian negara pada 2007 dengan 182 rekomendasi dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp731,36 miliar.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK pada 2008 juga terdapat 17 temuan dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp197,72 miliar. LHP BPK pada 2009 dengan kerugian negara sebesar Rp13,08 miliar serta LHP BPK 2010 dengan 25 temuan ketidakpatuhan terhadap undang-undang, salah satunya pembelian kendaraan dinas pada Biro Umum dan Perlengkapan sebesar Rp16,89 miliar.

Selain itu, juga ada skandal dana hibah dan bantuan sosial Pemprov Banten pada 2011 sebesar Rp340 miliar. Ada sekitar 10 lembaga penerima hibah dan bansos diduga fiktif dengan tital anggaran Rp4,5 miliar. Ada pula lembaga penerima hibah dengan nama tidak jelas dan alamat yang sama dengan total alokasi anggarannya mencapai Rp28,9 miliar.

Atut juga diduga berbohong dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) penggunaan APBD Banten 2012 yang ditemukan dana dekonsentrasi yang diterima Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Banten dari Kementerian Pertanian pada anggaran 2012 senilai Rp36,7 miliar. Dana itu digunakan untuk 15 kegiatan namun dimasukkan dalam LKPJ Gubernur Banten pada 2012.

"Tak kalah menarik adalah aliran dana hibah mengalir ke lembaga yang dipimpin keluarga gubernur, mulai dari suami, kakak, anak, menantu dan ipar dengan total alokasi mencapai Rp29,5 miliar," papar Kahfi.

(Tengah) Anggota Komisi C DPRD DKI, Esti Arimi Putri

Legislator Soroti Daya Beli Gen Z di Jakarta, Bisa Berkontribusi Besar Kendalikan Inflasi

Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Esti Arimi Putri menilai pentingnya upaya pemberdayaan daya beli terhadap semua golongan demi mengendalikan inflasi.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024