Wisata Lumpur di Pulau Sarina

Wisata Pulau Sarina
Sumber :
  • SP/Budi Prasetiyo

SURABAYA POST - Pulau Sarina yang terletak di pesisir timur Sidoarjo itu memiliki luas sekitar 80 hektare. Pulau itu terbentuk dari sedimentasi lumpur Sidoarjo yang dibuang ke muara kali Porong selama hampir lima tahun.

Kombes Wira Blak-blakan Kapan Panggil Pendeta Gilbert soal Kasus Penistaan Agama

Tinggi sendimentasi mencapai 2,5 meter dari permukaan laut hingga kemudian membentuk pulau. Jarak pulau baru ini dengan dermaga Desa Tlocor, Kecamatan Jabon hanya sekitar 5 kilometer. Karena jaraknya yang tak terlalu jauh, Pulau Sarina kini banyak dikunjungi wisatawan, terutama mereka yang punya hobi memancing.

“Kalau wisatawan yang memancing, biasanya bisa seharian penuh di sana. Tapi kalau cuma lihat pemandangan laut, paling cuma tiga jam,” ucap Jafar, pemilik perahu di kawasan itu.

Curhat Jurnalis Asing Kala Bertugas di China

Selain memancing, pengunjung bisa melihat eloknya pemandangan matahari terbit saat pagi hari. “Kalau pagi bagus sekali, karena bisa lihat matahari yang akan terbit. Kalau siang memang panas karena tidak banyak pohon di sana,” tambah Jafar.

Seorang pengunjung mengaku penasaran dengan keberadaan pulau baru itu. “Ini sekarang lagi mencoba mancing di sini. Cari alternatif baru. Kalau ikannya banyak kan bisa diulang ke sini lagi,” kata Muharyo yang kerap mancing ke tengah laut bersama teman-temannya.

Peran Jenderal Bintang 4 yang Diduga Terlibat Korupsi Timah Rp 271 Triliun

Pulau Sarina memang hanya terdiri dari hamparan lumpur berwarna hitam. Pulau itu dikelilingi sandbag berwarna putih untuk menahan lumpur agar tidak longsor ke laut. Setiap harinya, sebuah kapal keruk terlihat lalu lalang menyedot lumpur di muara sungai dan membuangnya ke atas pulau. Itu dilakukan untuk mempertinggi pulau agar tidak tergerus air laut.

Konon, Sarina adalah nama seekor monyet yang dimiliki warga Tlocor. Sarina dan pasangannya lantas dilepas ke hutan bakau yang ada di pinggir sungai Porong. Lambat laun pasangan monyet itu beranak pinak dan kini sudah puluhan ekor.

Nelayan Tlocor yang berangkat melaut kerap melihat monyet-monyet tersebut di balik rerimbunan pohon bakau. Nama Sarina pun menjadi populer di kalangan warga sekitar. Entah siapa yang memulai, warga lantas menamai pulau baru itu dengan sebutan Pulau Sarina. Bahkan, di beberapa perahu yang mangkal di dermaga Tlocor terdapat tulisan ”Wisata Pulau Sarina”.

Untuk mencapai pulau itu tidaklah sulit. Dari kota Sidoarjo bisa ditempuh kira-kira 2 jam perjalanan. Saat melewati jembatan kali Porong, pengunjung bisa langsung belok ke timur, melewati jalan aspal hingga dermaga Tlocor. Jaraknya kira-kira 15 km.

Dari dermaga, pengunjung bisa menyewa perahu menyusuri sungai Porong selama setengah jam. Selama perjalanan itu, pengunjung bisa menikmati hamparan pohon bakau yang terlihat di sisi kanan dan kiri sungai itu. Selain itu mereka juga bisa melihat monyet yang berkeliaran di sekitar hamparan pohon bakau.

Perjalanan dari Dermaga Tlocor ke Pulau Sarina bisa ditempuh hanya dalam waktu setengah jam jika ombak tenang.”Kalau air pasang, memang agak lama karena biasanya ombaknya agak besar,” ujar Muntholib, salah satu pemilik perahu.

Diungkapkan, sejak tiga bulan ini pengunjung yang datang ke Pulau Sarina meningkat. Selain memancing, banyak wisatawan yang ingin ke sana sekadar untuk membuktikan keindahannya. Kondisi itu tentu saja menjadi berkah tersendiri bagi penduduk sekitar. Mereka bisa berjualan di dermaga atau sekadar menyewakan perahu. ”Kalau hari Minggu atau hari libur, dermaga ramai. Banyak sekali yang menyewa perahu untuk memancing atau sekadar melihat pulau Sarina dari dekat,” kata Muntholib.

Biaya untuk menyewa perahu pun tidak mahal. Pengunjung cukup mengeluarkan uang Rp50 ribu untuk menyewa sebuah perahu selama tiga jam. Kalau seharian penuh, biayanya Rp150 ribu sampai Rp200 ribu. Mereka yang ingin mancing biasanya menyewa selama satu hari penuh.

Selain untuk tujuan wisata, pulau Sarina juga untuk obyek penelitian aktivis lingkungan dan sejumlah perguruan tinggi. Biasanya mereka mencoba menanam bakau (mangrove) di pulau itu. (Budi Prasetiyo)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya